Embun
masih begitu mengepul saat kulangkahkan kaki untuk memulai hari yang mungkin
akan melelahkan.
“Bismillah,” aku kuatkan semangat yang sedikit
kendur, menyapa cantiknya mentari di ufuk timur kota kuningan. Sapaan hangat
dan senyum ibu-ibu yang tengah sibuk mengerumuni gerobak sayur membuat
keindahan desaku semakin hidup.
Hari ini, tujuan pertama yang mesti kutiti adalah
berangkat menuju rumah kakak keduaku. Tempatnya tidak terlalu jauh dari
rumahku. Cukup dengan naik angdes jurusan Taraju, maka beberapa meter saja
sudah sampai di desa Kertawangunan. Dia
mempunyai dua orang anak yang sangat menggemaskan. Ya, mereka adalah
keponakanku. Aku begitu menyayanginya. Sudah hampir dua bulan ayah mereka
berada di kota yang berbeda. Lumayan, tak terlalu jauh dari kota kami tinggal.
Saat langkahku terhenti di pelataran taman berhias
bunga-bunga cantik, tawa nan lepas dan langkah kaki-kaki kecil kulihat
menghampiri. Ada gurat bahagia di wajah mereka yang lugu. Mereka terlihat rapi.
Yang perempuan, Nida, melenggok dengan rok berwarna pink kesukaannya. Yang
laki-laki, Jalal, tampak begitu stylist
dengan jeans dan kaos ipin-upin kesukaannya. Padahal, biasanya pagi-pagi begini
mereka belum mandi, bahkan masih malas-malasan untuk bangun tidur. Tapi, pagi
ini menjadi pagi yang sangat spesial bagi mereka. Keduanya telah mempersiapkan
diri untuk mengadakan perjalanan. Nasi dan lauknya sudah dibungkus, sebotol air
minum disiapkan pula, tak lupa makanan-makanan kecil yang mereka beli dari
warung pun mereka simpan dalam tas Barbie berwarna pink milik Nida. Yang paling
lucunya lagi, Nida membawa bantal kecil yang dipakai sewaktu dia masih bayi.
“Kakak, kenapa harus bawa-bawa bantal itu segala”,
tanyaku pada Nida sembari ikut membantu beres-beres rumah yang masih
berantakan.
“Iya tuh, ada-ada saja apa yang dia bawa, segala
sesuatunya dimasukan ke dalam tas”, sela kakaku dari arah dapur.
“Ih, di mobil pasti ngantuk, jadi nanti bisa tidur
pake bantal ini, Tante.” Jawabnya seraya mengemas keperluan lain yang akan
dibawa.
“Kalau mau tidur di mobil ya tinggal tidur saja, Kak.
Gak usah bawa bantal itu segala. Kan jadi repot bawa tasnya yang kegedean.”
Ujarku.
“Gak apa-apa, Tante. Kan aku yang bawa tas nya
juga.”
“Ya, sudah terserah kakak saja deh. Tapi janji ya,
nanti jangan minta tante yang bawa tasnya.”
“Iya, iya. Janji deh. Swear!” Dua jarinya teracung
ke atas pertanda dia akan memegang janjinya.
Semua sudah beres. Dan kami siap meluncur menapaki
hari diantara Kuningan dan Majalengka. Ya, aku berjanji akan menemani mereka
menemui ayahnya di daerah Majalengka. Kakakku,
Ceu Iyam, ibu dari keponakanku itu pun ikut serta. Meskipun
jarak antara kedua kota ini tidaklah begitu jauh, sekitar dua jam jika
berangkat dari Kuningan menuju Majalengka. Tapi, bagi mereka adalah sebuah
perjalanan yang lumayan panjang.
Tidak dengan kendaraan sendiri kami pergi, angkot
dan bus menjadi pilihan kami untuk
sampai di tempat tujuan. Kedua anak itu, sungguh tak dapat digambarkan antara
kebahagiaannya dengan lelah yang akan mereka jalani.
Mobil melaju meninggalkan rumah kami, anak-anak
kadang bertanya-tanya setiap hal yang mereka lihat dan temukan sepanjang perjalanan.
Desa demi desa kami lalui. Kota Kuningan memang mempunyai pemandangan yang sangat
memesona. Apalagi saat pagi menyongsong, ketika langit begitu jernih tiada awan
menghalangi. Bongkahan gunung Ceremai menjadi background yang sangat natural di
sisi barat kota Kuningan. Taman kota yang berada di pusat kota, dengan
keindahan mesjid agung yang nampak berdiri kokoh membuat hati berdecak kagum
melafalkan keagungan Sang Pencipta.
“Tante, itu mesjid apa namanya? Alal lupa lagi. Ayah
pernah mengajak Alal untuk sholat di mesjid itu.” Celoteh si kecil Jalal yang
sepertinya setiap moment bersama Ayahnya tak pernah ia lupakan. Aku menangkap
nada kerinduan yang bergetar dalam suaranya.
“Itu mesjid agung Syi’arul Islam, Dek. Bagus banget
ya. Tante juga sering kesana. Ada beberapa tempat yang paling Tante sukai di
mesjid itu. Yang pertama adalah di lantai dua, tempat kita biasanya
melaksanakan sholat. Adem banget kalau tante berada disana. Terus, yang kedua
di pelataran bagian depan yang menghadap ke taman itu.” Aku coba
mendeskripsikannya.
“Tante suka yang di dekat taman itu, kenapa?”
tanyanya kembali.
“Disana Tante bisa menikmati damainya bernaung di
rumah Allah, Dek. Dengan angin sepoi yang sejuk, menambah kenyamanan setiap
Tante duduk disana untuk sekedar beristirahat atau bertemu teman-teman.
Kapan-kapan kita kesana yuk dek!” Ajakku sekedar memalingkan perhatiannya yang
matanya mulai terlihat mengantuk.
“Asyiik, nanti kita main kesana ya Tan. Sama kakak
juga.” Ucapnya dengan riang.
“Mamah gak di ajak, dek? Hmm, gitu ya.” Sela kakakku
yang dari tadi menyimak pembicaraan kita.
“Oh, mamah mau ikut juga? Iya deh, nanti kita
sama-sama ke mesjid Syi’arul Islam.” Senyumnya kembali mengembang.
Kami kembali terdiam, hanya suara deru mobil yang
menina bobokan mata-mata yang mulai mengantuk. Tapi, si kecil Jalal nampak
masih menikmati pemandangan di luar mobil sana. Matanya selalu membiaskan
sebuah keingintahuan setiap hal yang dilihatnya. Dan tak pernah lelah dia terus
bertanya akan hal yang ingin dia ketahui. Di sebelah kakakku, Neng Nida
terlihat asyik sendiri menikmati perjalanannya. Terkadang bernyanyi dengan suara
kecilnya.
Laju, terus melaju mobil yang kita tumpangi. Sampai
di daerah Darma, kedua keponakanku masih bisa bertahan. Padahal, setiap
mengadakan perjalanan yang lumayan jauh, mereka sering mabuk darat. Sekarang
mereka terlelap diusap angin yang menerobos dari sela-sela pintu dan jendela
mobil.
Waduk Darma yang membentang menarik perhatianku. Endah kabina-bina! Terlihat Pak tua
mendayung sampan, lalu menebar jala penangkap ikan di tambak-tambak. Keindahan
alam di kota tercinta Kuningan Asri inilah yang membuatku betah tinggal disini.
Tebing-tebing gunung Ceremai, sungai yang meliuk-liuk, pohon-pohon jati di
tepian jalan, menambah pesona kota ini. Gunung Ceremai yang kebanyakan orang
salah tafsir saat menyebutkan nama gunung itu dengan sebutan “Ciremai”.
Sepanjang perjalanan yang berkelok membuat suasana di bus semakin membuat ngantuk
saja. Kakakku dan kedua ponakanku terlelap dalam kelelahannya. Akhirnya sampai
juga di Cikijing. Kita bersama pindah bus dengan jurusan Majalengka-Bandung.
“Alhamdulillah,
di depan SMPN 1 nanti kita berhenti ya.” Kakakku mulai bersuara setelah bangun.
Setelah turun dari bus, kita langsung menuju sebuah
warung bubur kacang ijo seberang jalan. Disanalah, ayah mereka dan juga kakak
laki-lakiku mencari nafkah. Mereka berdua berteriak dari seberang jalan dan
memanggilnya dengan tak sabar.
“Ayaaahh…” Mereka langsung memeluk erat laki-laki
yang begitu mereka rindui, kelelahan seketika sirna terganti senyum
kebahagiaan.
Ah, Kuningan. Saat jarak memisahkan kita, seolah
tertinggal segala hal yang memberatkan pikiran. Disini, meski bukan tempat
kelahiranku, aku merasakan ketenangan, seperti akan memulai hidup yang baru.
Kulepaskan lelah dengan bersandar pada dinding kontrakan dan menikmati
potongan-potongan apel yang kakak beli.
Azan zuhur berkumandang, saat kami telah banyak
menikmati segala hal tentang Majalengka. Ada desir kerinduan akan kota Kuninganku.
Hadeuh, belum juga sehari kutinggalkan, batinku berontak ingin segera kembali.
Walaupun disini aku temukan ketenangan, tapi suasana kota sendiri lebih aku
sukai. Akhirnya aku putuskan untuk pulang sendiri hari itu pula, karena esok
aku harus menjalankan aktifitasku seperti biasa. Kakak dan kedua ponakanku
memutuskan untuk tinggal beberapa hari lagi melepas rindu yang lama berkelut.
Aku beranikan pulang menuju kuningan tanpa kakak dan
keponakan-keponakanku. Jujur saja, memang baru kali ini aku pergi sendiri
dengan jarak yang lumayan jauh. Dari tempat kakak berdagang, aku langsung
memberhentikan bus jurusan Tasik-Cikijing. Sesampainya di Cikijing. Bingung. Harus
naik bus yang mana. Aku bertanya pada orang yang ada disana. Well, akhirnya dapat juga bus nya.
Ada rasa yang membuatku begitu sangat tidak nyaman.
Sendirian di bus angkutan umum tanpa penumpang lain adalah hal yang sangat aku
takutkan. Apalagi saat tiga orang laki-laki yang berpenampilan preman memasuki
bus, lalu duduk tepat disamping kursi yang aku duduki. Ya ampun, dadaku tak hentinya
berdetak kencang. Untungnya, ada seorang ibu menyusul naik dan duduk dikursi
yang sejajar denganku . Dan itu sudah cukup melegakan hati. Aku coba menenangkan
diri dengan memejamkan mata. Memeluk hangat tas yang menjadi teman
perjalananku. Angin menerpa dari sela-sela jendela, mengantarkanku pada lorong
waktu yang tak dapat menembus dunia nyata.
“Mau kemana, Neng?” Laki-laki disampingku
melontarkan tanya.
“Ke Kuningan,
Pak.” Kujawab singkat.
“Sendirian saja?”
“Iya”. Sahutku. Ingin rasanya turun kembali. Tapi,
terasa berat untuk bergerak. Bus terlanjur melaju kencang.
Tiba-tiba dengan cekatan dan gerakan yang begitu
cepat, laki-laki itu merampas tas yang dari tadi aku peluk. Tapi karena gerakannya,
kewaspadaanku buyar seketika. Dia langsung melompat dari bus.
“Copeet…… Berhenti Pak, tolong hentikan busnya.” Teriakku
kepada sopir bus. Lalu, terdengar bunyi rem dan bus pun berhenti.
Tanpa berfikir panjang aku pun langsung melompat
keluar bus, dan berlari secepat mungkin mengejar si pencuri tasku itu.
Kemampuanku dalam berlari kini dipertaruhkan. Sebagai juara satu lomba lari
tingkat Kabupaten, malu rasanya jika tidak berhasil mengalahkannya.
Punggung si pencuri itupun semakin dekat jaraknya.
Setelah diperkirakan, tanpa ampun aku langsung melayangkan kaki kananku tepat
di punggungnya.
“BUKKK….”
Sekonyong-konyong laki-laki itu hilang keseimbangan
dan tersungkur diatas tanah. Nah, kini
saatnya aku keluarkan jurus bela diri warisan Almarhum Abah.
“BUKKK…” Aku menyerangnya dengan tendangan kedua.
Lalu dia bangkit. Berontak. Tangannya mengepal dan
hendak melayangkan tinjuannya tepat kearah hidungku. Bukan cucunya abah atuh
kalau tidak bisa menghalau serangannya. Dengan segera kuraih tangannya yang
berkeringat. Ih, jorok sekali! Lalu kupelintirkan sampai dia meringis kesakitan
dan minta ampun. Finally, tasku sudah
ada di tangan dan si pencuri itu lari terbirit-birit kearah pesawahan.
Huh, capek sekali rasanya. Kurapikan jilbab dan
pakaianku yang sedikit kotor. Lalu aku duduk di tepi jalan dan mengambil botol
air minum di dalam tas yang hampir dicuri orang. Aku menarik nafas panjang,
berharap ada bus yang lewat dengan segera. Mengejar bus yang tadi kutumpangi
adalah hal yang tidak mungkin kulakukan. Mungkin bus itu sudah melaju kembali
dengan jauh. Aku melihat sekeliling hamparan sawah di depan, bukit-bukit yang
curam, suara gemercik air di lembah. Alamiah sekali. Daerah ini pasti disekitar
Cikijing-Talaga. Tapi kalau sendirian begini akupun tidak bisa bertahan lama.
Ingin segera pulang.
Akhirnya bus jurusan Kuningan-Cirebon yang kutunggu
datang juga. Aku lambaikan tangan untuk menyetopnya. Dan bus pun berhenti. Aku
segera naik dan masuk. Lalu duduk di bangku yang kosong. Belum banyak
penumpang, hanya dua orang ibu-ibu dan tiga orang bapak-bapak. Mereka menatapku
dengan tatapan yang aneh. Wajarlah, di daerah yang jauh dari pedesaan ini, ada
seorang gadis cantik lusuh, sendirian. Hidup lagi. Halah… untung tidak disangka
bidadari penghuni bukit Cikijing. Hehe…
Namun, tak kuhiraukan. Aku bersandar melepas lelah.
Kupejamkan mataku lalu kudendangkan takbir dan hamdallah dalam hati. Aku masih
bisa berdiri tegak, bukan karena kekuatan dan kemampuanku menghadapi rintangan.
Tapi, karena campur tangan Tuhan yang tak pernah luput dari kehidupan manusia.
“Kadugede…Kuningan…Kuningan…” Suara sang kondektur
membangunkan aku dari mimpi sang petualang.
Aku sadar dan terbangun, lalu senyum sendiri.
Astaghfirullah, Sempat-sempatnya dalam
perjalanan selama kurang lebih dua jam ini aku bermimpi. Punya kemampuan bela
diri, juara lari tingkat Kabupaten, bisa menghajar si pencuri tas. Waduh, hebat
pisan euy kalau aku bisa jadi jagoan.
Hehe…
Lalu aku turun dari bus dan kuberikan ongkos Rp.
5000 kepada si kondektur. Selanjutnya aku naik angkot 02 jurusan Kadugede-Pasar
baru. Sesampainya di kota, aku langsung menuju mesjid agung Syi’arul Islam untuk
sholat ashar. Setelah selesai, kemudian aku melanjutkan perjalanan pulang. Sang
musafir sepotong hari kini telah kembali menghirup udara segar wilayah timur
kota Kuningan Asri.
Dan ini aku, kembali untuk mengukir sejarah
kehidupan bersama orang-orang tercinta dalam semesta kaki gunung Ceremai dengan
limpahan nikmat yang Tuhan karuniakan dalam jumlah tak terhingga.
*Ceu = panggilan
untuk wanita yang lebih tua
Abah = kakek
Pisan = sangat
Endah kabina-bina= sangat
indah
Finally
= akhirnya
0 komentar:
Posting Komentar