Saling berbagi dan menebar hikmah. Semoga catatan-catatan di blog ini bermanfaat. Salam ukhuwah fillaah. ^_^
RSS

Musafir Sepotong Hari

Embun masih begitu mengepul saat kulangkahkan kaki untuk memulai hari yang mungkin akan melelahkan.
“Bismillah,” aku kuatkan semangat yang sedikit kendur, menyapa cantiknya mentari di ufuk timur kota kuningan. Sapaan hangat dan senyum ibu-ibu yang tengah sibuk mengerumuni gerobak sayur membuat keindahan desaku semakin hidup.
Hari ini, tujuan pertama yang mesti kutiti adalah berangkat menuju rumah kakak keduaku. Tempatnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Cukup dengan naik angdes jurusan Taraju, maka beberapa meter saja sudah sampai di desa Kertawangunan. Dia  mempunyai dua orang anak yang sangat menggemaskan. Ya, mereka adalah keponakanku. Aku begitu menyayanginya. Sudah hampir dua bulan ayah mereka berada di kota yang berbeda. Lumayan, tak terlalu jauh dari kota kami tinggal.
Saat langkahku terhenti di pelataran taman berhias bunga-bunga cantik, tawa nan lepas dan langkah kaki-kaki kecil kulihat menghampiri. Ada gurat bahagia di wajah mereka yang lugu. Mereka terlihat rapi. Yang perempuan, Nida, melenggok dengan rok berwarna pink kesukaannya. Yang laki-laki, Jalal,  tampak begitu stylist dengan jeans dan kaos ipin-upin kesukaannya. Padahal, biasanya pagi-pagi begini mereka belum mandi, bahkan masih malas-malasan untuk bangun tidur. Tapi, pagi ini menjadi pagi yang sangat spesial bagi mereka. Keduanya telah mempersiapkan diri untuk mengadakan perjalanan. Nasi dan lauknya sudah dibungkus, sebotol air minum disiapkan pula, tak lupa makanan-makanan kecil yang mereka beli dari warung pun mereka simpan dalam tas Barbie berwarna pink milik Nida. Yang paling lucunya lagi, Nida membawa bantal kecil yang dipakai sewaktu dia masih bayi.
“Kakak, kenapa harus bawa-bawa bantal itu segala”, tanyaku pada Nida sembari ikut membantu beres-beres rumah yang masih berantakan.
“Iya tuh, ada-ada saja apa yang dia bawa, segala sesuatunya dimasukan ke dalam tas”, sela kakaku dari arah dapur.
“Ih, di mobil pasti ngantuk, jadi nanti bisa tidur pake bantal ini, Tante.” Jawabnya seraya mengemas keperluan lain yang akan dibawa.
“Kalau mau tidur di mobil ya tinggal tidur saja, Kak. Gak usah bawa bantal itu segala. Kan jadi repot bawa tasnya yang kegedean.” Ujarku.
“Gak apa-apa, Tante. Kan aku yang bawa tas nya juga.”
“Ya, sudah terserah kakak saja deh. Tapi janji ya, nanti jangan minta tante yang bawa tasnya.”
“Iya, iya. Janji deh. Swear!” Dua jarinya teracung ke atas pertanda dia akan memegang janjinya.
Semua sudah beres. Dan kami siap meluncur menapaki hari diantara Kuningan dan Majalengka. Ya, aku berjanji akan menemani mereka menemui ayahnya di daerah Majalengka. Kakakku, Ceu Iyam, ibu dari  keponakanku itu pun ikut serta. Meskipun jarak antara kedua kota ini tidaklah begitu jauh, sekitar dua jam jika berangkat dari Kuningan menuju Majalengka. Tapi, bagi mereka adalah sebuah perjalanan yang lumayan panjang.
Tidak dengan kendaraan sendiri kami pergi, angkot dan  bus menjadi pilihan kami untuk sampai di tempat tujuan. Kedua anak itu, sungguh tak dapat digambarkan antara kebahagiaannya dengan lelah yang akan mereka jalani.
Mobil melaju meninggalkan rumah kami, anak-anak kadang bertanya-tanya setiap hal yang mereka lihat dan temukan sepanjang perjalanan. Desa demi desa kami lalui. Kota Kuningan memang mempunyai pemandangan yang sangat memesona. Apalagi saat pagi menyongsong, ketika langit begitu jernih tiada awan menghalangi. Bongkahan gunung Ceremai menjadi background yang sangat natural di sisi barat kota Kuningan. Taman kota yang berada di pusat kota, dengan keindahan mesjid agung yang nampak berdiri kokoh membuat hati berdecak kagum melafalkan keagungan Sang Pencipta.
“Tante, itu mesjid apa namanya? Alal lupa lagi. Ayah pernah mengajak Alal untuk sholat di mesjid itu.” Celoteh si kecil Jalal yang sepertinya setiap moment bersama Ayahnya tak pernah ia lupakan. Aku menangkap nada kerinduan yang bergetar dalam suaranya.
“Itu mesjid agung Syi’arul Islam, Dek. Bagus banget ya. Tante juga sering kesana. Ada beberapa tempat yang paling Tante sukai di mesjid itu. Yang pertama adalah di lantai dua, tempat kita biasanya melaksanakan sholat. Adem banget kalau tante berada disana. Terus, yang kedua di pelataran bagian depan yang menghadap ke taman itu.” Aku coba mendeskripsikannya.
“Tante suka yang di dekat taman itu, kenapa?” tanyanya kembali.
“Disana Tante bisa menikmati damainya bernaung di rumah Allah, Dek. Dengan angin sepoi yang sejuk, menambah kenyamanan setiap Tante duduk disana untuk sekedar beristirahat atau bertemu teman-teman. Kapan-kapan kita kesana yuk dek!” Ajakku sekedar memalingkan perhatiannya yang matanya mulai terlihat mengantuk.
“Asyiik, nanti kita main kesana ya Tan. Sama kakak juga.” Ucapnya dengan riang.
“Mamah gak di ajak, dek? Hmm, gitu ya.” Sela kakakku yang dari tadi menyimak pembicaraan kita.
“Oh, mamah mau ikut juga? Iya deh, nanti kita sama-sama ke mesjid Syi’arul Islam.” Senyumnya kembali mengembang.
Kami kembali terdiam, hanya suara deru mobil yang menina bobokan mata-mata yang mulai mengantuk. Tapi, si kecil Jalal nampak masih menikmati pemandangan di luar mobil sana. Matanya selalu membiaskan sebuah keingintahuan setiap hal yang dilihatnya. Dan tak pernah lelah dia terus bertanya akan hal yang ingin dia ketahui. Di sebelah kakakku, Neng Nida terlihat asyik sendiri menikmati perjalanannya. Terkadang bernyanyi dengan suara kecilnya.
Laju, terus melaju mobil yang kita tumpangi. Sampai di daerah Darma, kedua keponakanku masih bisa bertahan. Padahal, setiap mengadakan perjalanan yang lumayan jauh, mereka sering mabuk darat. Sekarang mereka terlelap diusap angin yang menerobos dari sela-sela pintu dan jendela mobil.
Waduk Darma yang membentang menarik perhatianku. Endah kabina-bina! Terlihat Pak tua mendayung sampan, lalu menebar jala penangkap ikan di tambak-tambak. Keindahan alam di kota tercinta Kuningan Asri inilah yang membuatku betah tinggal disini. Tebing-tebing gunung Ceremai, sungai yang meliuk-liuk, pohon-pohon jati di tepian jalan, menambah pesona kota ini. Gunung Ceremai yang kebanyakan orang salah tafsir saat menyebutkan nama gunung itu dengan sebutan “Ciremai”. Sepanjang perjalanan yang berkelok membuat suasana di bus semakin membuat ngantuk saja. Kakakku dan kedua ponakanku terlelap dalam kelelahannya. Akhirnya sampai juga di Cikijing. Kita bersama pindah bus dengan jurusan Majalengka-Bandung.
 “Alhamdulillah, di depan SMPN 1 nanti kita berhenti ya.” Kakakku mulai bersuara setelah bangun.
Setelah turun dari bus, kita langsung menuju sebuah warung bubur kacang ijo seberang jalan. Disanalah, ayah mereka dan juga kakak laki-lakiku mencari nafkah. Mereka berdua berteriak dari seberang jalan dan memanggilnya dengan tak sabar.
“Ayaaahh…” Mereka langsung memeluk erat laki-laki yang begitu mereka rindui, kelelahan seketika sirna terganti senyum kebahagiaan.
Ah, Kuningan. Saat jarak memisahkan kita, seolah tertinggal segala hal yang memberatkan pikiran. Disini, meski bukan tempat kelahiranku, aku merasakan ketenangan, seperti akan memulai hidup yang baru. Kulepaskan lelah dengan bersandar pada dinding kontrakan dan menikmati potongan-potongan apel yang kakak beli.
Azan zuhur berkumandang, saat kami telah banyak menikmati segala hal tentang Majalengka. Ada desir kerinduan akan kota Kuninganku. Hadeuh, belum juga sehari kutinggalkan, batinku berontak ingin segera kembali. Walaupun disini aku temukan ketenangan, tapi suasana kota sendiri lebih aku sukai. Akhirnya aku putuskan untuk pulang sendiri hari itu pula, karena esok aku harus menjalankan aktifitasku seperti biasa. Kakak dan kedua ponakanku memutuskan untuk tinggal beberapa hari lagi melepas rindu yang lama berkelut.
Aku beranikan pulang menuju kuningan tanpa kakak dan keponakan-keponakanku. Jujur saja, memang baru kali ini aku pergi sendiri dengan jarak yang lumayan jauh. Dari tempat kakak berdagang, aku langsung memberhentikan bus jurusan Tasik-Cikijing. Sesampainya di Cikijing. Bingung. Harus naik bus yang mana. Aku bertanya pada orang yang ada disana. Well, akhirnya dapat juga bus nya.
Ada rasa yang membuatku begitu sangat tidak nyaman. Sendirian di bus angkutan umum tanpa penumpang lain adalah hal yang sangat aku takutkan. Apalagi saat tiga orang laki-laki yang berpenampilan preman memasuki bus, lalu duduk tepat disamping kursi yang aku duduki. Ya ampun, dadaku tak hentinya berdetak kencang. Untungnya, ada seorang ibu menyusul naik dan duduk dikursi yang sejajar denganku . Dan itu sudah cukup melegakan hati. Aku coba menenangkan diri dengan memejamkan mata. Memeluk hangat tas yang menjadi teman perjalananku. Angin menerpa dari sela-sela jendela, mengantarkanku pada lorong waktu yang tak dapat menembus dunia nyata.
“Mau kemana, Neng?” Laki-laki disampingku melontarkan tanya.
 “Ke Kuningan, Pak.” Kujawab singkat.
“Sendirian saja?”
“Iya”. Sahutku. Ingin rasanya turun kembali. Tapi, terasa berat untuk bergerak. Bus terlanjur melaju kencang.
Tiba-tiba dengan cekatan dan gerakan yang begitu cepat, laki-laki itu merampas tas yang dari tadi aku peluk. Tapi karena gerakannya, kewaspadaanku buyar seketika. Dia langsung melompat dari bus.
“Copeet…… Berhenti Pak, tolong hentikan busnya.” Teriakku kepada sopir bus. Lalu, terdengar bunyi rem dan bus pun berhenti.
Tanpa berfikir panjang aku pun langsung melompat keluar bus, dan berlari secepat mungkin mengejar si pencuri tasku itu. Kemampuanku dalam berlari kini dipertaruhkan. Sebagai juara satu lomba lari tingkat Kabupaten, malu rasanya jika tidak berhasil mengalahkannya.
Punggung si pencuri itupun semakin dekat jaraknya. Setelah diperkirakan, tanpa ampun aku langsung melayangkan kaki kananku tepat di punggungnya.
“BUKKK….”
Sekonyong-konyong laki-laki itu hilang keseimbangan dan tersungkur diatas  tanah. Nah, kini saatnya aku keluarkan jurus bela diri warisan Almarhum Abah.
“BUKKK…” Aku menyerangnya dengan tendangan kedua.
Lalu dia bangkit. Berontak. Tangannya mengepal dan hendak melayangkan tinjuannya tepat kearah hidungku. Bukan cucunya abah atuh kalau tidak bisa menghalau serangannya. Dengan segera kuraih tangannya yang berkeringat. Ih, jorok sekali! Lalu kupelintirkan sampai dia meringis kesakitan dan minta ampun. Finally, tasku sudah ada di tangan dan si pencuri itu lari terbirit-birit kearah pesawahan.
Huh, capek sekali rasanya. Kurapikan jilbab dan pakaianku yang sedikit kotor. Lalu aku duduk di tepi jalan dan mengambil botol air minum di dalam tas yang hampir dicuri orang. Aku menarik nafas panjang, berharap ada bus yang lewat dengan segera. Mengejar bus yang tadi kutumpangi adalah hal yang tidak mungkin kulakukan. Mungkin bus itu sudah melaju kembali dengan jauh. Aku melihat sekeliling hamparan sawah di depan, bukit-bukit yang curam, suara gemercik air di lembah. Alamiah sekali. Daerah ini pasti disekitar Cikijing-Talaga. Tapi kalau sendirian begini akupun tidak bisa bertahan lama. Ingin segera pulang.
Akhirnya bus jurusan Kuningan-Cirebon yang kutunggu datang juga. Aku lambaikan tangan untuk menyetopnya. Dan bus pun berhenti. Aku segera naik dan masuk. Lalu duduk di bangku yang kosong. Belum banyak penumpang, hanya dua orang ibu-ibu dan tiga orang bapak-bapak. Mereka menatapku dengan tatapan yang aneh. Wajarlah, di daerah yang jauh dari pedesaan ini, ada seorang gadis cantik lusuh, sendirian. Hidup lagi. Halah… untung tidak disangka bidadari penghuni bukit Cikijing. Hehe…
Namun, tak kuhiraukan. Aku bersandar melepas lelah. Kupejamkan mataku lalu kudendangkan takbir dan hamdallah dalam hati. Aku masih bisa berdiri tegak, bukan karena kekuatan dan kemampuanku menghadapi rintangan. Tapi, karena campur tangan Tuhan yang tak pernah luput dari kehidupan manusia.
“Kadugede…Kuningan…Kuningan…” Suara sang kondektur membangunkan aku dari mimpi sang petualang.
Aku sadar dan terbangun, lalu senyum sendiri. Astaghfirullah, Sempat-sempatnya  dalam perjalanan selama kurang lebih dua jam ini aku bermimpi. Punya kemampuan bela diri, juara lari tingkat Kabupaten, bisa menghajar si pencuri tas. Waduh, hebat pisan euy kalau aku bisa jadi jagoan. Hehe…
Lalu aku turun dari bus dan kuberikan ongkos Rp. 5000 kepada si kondektur. Selanjutnya aku naik angkot 02 jurusan Kadugede-Pasar baru. Sesampainya di kota, aku langsung menuju mesjid agung Syi’arul Islam untuk sholat ashar. Setelah selesai, kemudian aku melanjutkan perjalanan pulang. Sang musafir sepotong hari kini telah kembali menghirup udara segar wilayah timur kota Kuningan Asri.
Dan ini aku, kembali untuk mengukir sejarah kehidupan bersama orang-orang tercinta dalam semesta kaki gunung Ceremai dengan limpahan nikmat yang Tuhan karuniakan dalam jumlah tak terhingga.

*Ceu = panggilan untuk wanita yang lebih tua
 Abah = kakek
 Pisan = sangat
Endah kabina-bina= sangat indah
Finally = akhirnya

0 komentar:

Posting Komentar