Saling berbagi dan menebar hikmah. Semoga catatan-catatan di blog ini bermanfaat. Salam ukhuwah fillaah. ^_^
RSS

Sekeping Luka



“Kamu cantik banget, Beib! Anggun, bak bidadari.” Puji Nabilah pada wanita bergaun pengantin warna putih di depannya.
“Ah, kamu paling pandai merayu, Bil.” Ujar gadis itu dengan tersipu.
“Kira-kira rombongan calon pengantin laki-laki akan tiba jam berapa?” Nabila  kembali bertanya seraya merapikan melati yang menghiasi kepala gadis itu.
“Mmm… Sekitar jam delapan, Bil. Kenapa?”
“Oh, gak kenapa-napa. Gak sabar aja liat dirimu bersanding dengan ikhwan yang sangat kamu harapkan.” Ujar Nabila kembali.
Gadis itu hanya tersenyum sambil menatap wajahnya yang terpantul di cermin. Sesekali merapikan jilbab putihnya dengan aneka hiasan dan rangkaian bunga melati. Nabila berlalu kearah dapur dan ikut mempersiapkan makanan yang harus dihidangkan untuk para tamu. Dia sangat antusias sekali, karena ini adalah hari bersejarah dalam hidup sahabatnya itu. Ya, sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri. Sahabat yang baik hatinya. Sahabat yang selalu mengingatkannya akan kewajiban yang lima waktu,  sholat. Maklum lah, Nabila lahir dan dibesarkan dalam keluarga berada. Tapi kurang memahami agama. Dia termasuk gadis yang beruntung bisa berada di sekeliling orang-orang baik. Termasuk keluarga sahabatnya itu, Habibah. Beib, biasa gadis itu dipanggil. Nama yang cantik, bukan? Ya, Habibah adalah wanita cantik juga sholehah. Tapi, setiap manusia tidak ada yang sempurna. Habibah tercipta dengan segala kelebihan, pun tidak terlepas dengan segala kekurangannya.
Senandung nasyid terdengar begitu merdu, menambah khusuk sebuah akad yang akan dilafadzkan dan resepsi yang akan digelar beberapa saat lagi. Dibalik senyuman Habibah dan orang-orang sekitar, dibalik harumnya melati yang terurai, disudut ruang yang bertirai merah, jauh di dalam qolbu, di ujung harapan, ada setitik asa yang meleleh, lalu beku bertahan dalam kesabaran dan ketulusan yang terus ia perjuangkan.
Nabila kemudian keluar menghampiri salah satu sahabatnya lagi, Mba Mei, yang sedang asyik bermain hp di kursi penerima tamu.
“Kenapa, Bil? Kamu kok kayak yang gak semangat gitu. Sakit?” Tanya Mei yang kemudian tangannya meraih kotak berisi souvenir untuk para tamu.
“Owh, I’m okay. Cuma kecapean dikit aja mungkin.” Jawab Nabila sedikit menyembunyikan kenyataan.
“Ya sudah, sekarang kamu temenin saya di sini saja, ya? Biar gak terlalu capek wara-wiri ngurusin keperluan Habibah dan makanan di belakang.” Mei sedikit menyarankan
“Iya, Mba. Aku temenin Mba disini aja ya.” Suara Nabila agak lesu.
“Mba, Habibah terlihat sangat bahagia sekali akan menjadi istrinya Mas Haerul.” Lanjutnya.
Mei hanya tersenyum, menatap penuh kasih untuk meneguhkan hati Nabila yang duduk di sampingnya.
“Sepertinya rombongan calon pengantin laki-laki sudah datang, Bil.” Mei menunjuk kearah jalan mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
Di ujung jalan, pertigaan komplek terliahat beberapa mobil datang menuju lokasi hajat. Ternyata, memang benar rombongan calon pengantin laki-laki.  Mereka turun dari mobil. Ada banyak ibu-ibu dan bapak-bapak dalam rombongan itu, juga anak-anak kecil dan para gadis cantik membawa berbagai jenis kado termasuk untuk mahar.
Rombongan itu berjalan mendekati lokasi. Nampak paling depan seorang laki-laki memakai setelan jas hitam, kemeja putih dan dasi juga kopeah di kepalanya. Gagah sekali.  Didampingi ibu dan bapak memakai baju yang seragam.
Mereka berjalan semakin dekat dengan pintu utama. Nabila dan Mei berdiri untuk menyambut kedatanngan mereka. Nabila Nampak begitu gelisah, ia berusaha untuk tersenyum. Tapi, ia tak bisa bertahan. Tak mampu berdiri lama. Hatinya sesak. Air matanya  mendesak. Tepat ketika ia melihat laki-laki berjas hitam itu, pada saat itu pula mata mereka perpapasan. Terlukis tatapan yang sayu dimata mereka. Dengan segera Nabila memalingkan pandangan.
Mba Mei, boleh Nabila pinjam kunci motornya sebentar.” Pintanya dengan mendadak.
“lho, mau kemana, say? Sekarang kan sedang sibuk-sibuknya mengurus tamu. Mba mohon, Bil, sabarlah.” Mei mencoba menggenggam tangan nabila untuk menguatkan.
“Please, Mba. Aku Cuma mau beli tissue saja di toko seberang jalan raya sana.” Nabila beralasan.
“Tapi jangan lama-lama ya. Segera kembali.” Ucap Mei sembari memberikan kunci motor pada Nabila.
“Iya. Insya Allah.” Nabila mengambil kunci itu. Lalu segera berlalu meninggalkan temapat pernikahan itu.
“Hati-hati.” Teriak Mei penuh kekhawatiran.
Namun, nabila seperti tak menghiraukan. Ia langsung tancap gas dan hilang di ujung jalan.
Air mata yang dari tadi mendesaknya, seketika itu pula ia tumpahkan. Tangisannya pecah. Entah dengan kecepatan berapa kilometer Nabila menginjak gas. Angin terus menampar wajahnya, pipinya basah, hatinya hancur. Ia bukanlah malaikat yang mampu mengabdi sepenuhnya pada Rabb-nya. Meski dirinya terus berusaha untuk meraih sebuah ketulusan. Tapi, ia hanya wanita biasa yang tak mampu menahan sakit, tekanan, dan luka hati yang berdarah.
Motor yang ia kendarai bergerak terus menuju suatu tempat. Dimana, disanalah biasanya Nabila mencurahkan segala perasaanya.
Palutungan. Ya, sebuah bumi perkemahan di kaki gunung Ceremai. Tempat itu bisa di tempuh beberapa kilometer dari desa Palutungan. Persawahan dan kebun-kebun menjadi  pemandangan yang sangat menyegarkan dalam perjalanan menuju tempat itu.
Setelah menyimpan motornya di tempat yang aman. Satu tempat yang langsung Nabila tuju adalah Curug Ciputri. Sebuah air terjun yang menjadi tempat pariwisata dan telah banyak dikunjungi oleh orang-orang dari luar kota. Kebetulan saat itu curug (air terjun) sedang tak banyak pengunjung. Nabila duduk diatas sebuah batu. Air matanya kembali menetes. Matanya menatap lesu sebuah air terjun di hadapannya.
“Ya Allah, dengan cara apa aku berdamai dengan hati dan perasaan ini? Aku kalah Ya Rabb. Tak mampu menghadirkan arti tulus demi sahabat tercinta. Ampuni hamba Ya Rabb, bahwa tak sepenuhnya hamba mampu untuk mencintai-Mu saja. Beri kesempatan sekali lagi Ya Rabb… Hamba mohon dengan sangat.” Nabila mencoba merenung.
Tiba-tiba handphone dalam tasnya berdering. Seketika, lamunan Nabila buyar. Lalu dia mengambil handphonenya. Panggilan, Mba Mei. Tidak biasanya beliau meneleponnya. Lalu Nabila menerima panggilan itu.
“Assalamu’alaikum. Iya Mba, ada apa?” jawab Nabila
“Wa’alakumussalam. Bil, kamu dimana? Cepetan pulang! Gawat nih! Pokoknya kamu harus pulang sekarang, ke rumah Habibah. Kalau kamu gak kesini. Akad nikah tidak akan pernah dimulai.” Teriak Mei di ujung telepon dengan suara penuh kekhawatiran.
Belum juga nabila menimpali, tapi Mei sudah menutup teleponnya.
Hati Nabila gusar. Penuh tanda tanya. Entah apa yang terjadi di pesta pernikahan itu. Dia ingat dengan kata-kata Mei tadi, jika dia tidak buru-buru pulang, maka akad tidak akan pernah dimulai.
Ada apakah gerangan??” Batin Nabila bergejolak.
Dengan segera Nabila menaiki tangga yang terbuat dari tanah merah itu, lalu belari menuju parkiran motor. Dan dengan cepat ia menghidupkan mesin motor dan melaju untuk kembali ke tempat pernikahan Habibah dan Mas Haerul. Meski luka masih menganga, demi sahabat tercinta ia kuatkan diri apapun yang akan terjadi.
Sesampainya di tempat pernikahan. Terlihat orang-orang ramai, entah membicarakan hal apa. Mba Mei langsung menghampiri dan menarik tangan Nabila.
“Nabila! Kemana aja sih kamu. Ayo kesini. Kamu harus segera temui Habibah dikamarnya.” Sambil menyelinap di tengah para tamu, Mei dan Nabila dengan tergesa menuju kamar pengantin, dimana Habibah berada.
“Apa yang sebenarnya terjadi sih, Mba? Nabila mencoba bertanya.
“Nanti juga kamu tahu sendiri.” Tukas Mei.
Setelah sampai di depan sebuah pintu kamar yang terkunci rapat. Mei mencoba mengetuk pintu itu.
“Beib. Tolong buka pintunya ya. Nabila sudah ada disini.” Bujuk Mei dengan suara lembut.
Lalu, pintupun terbuka. Dan mata Habibah terilihat begitu lembab. Make up yang tadi pagi sangat menawan, kini memudar oleh sapuan air mata.
“Beibh sayang, kenapa?” Nabila langsung memeluknya.
“Bil, menikahlah dengan Mas Haerul. Sebuah kedzaliman jika saya memisahkan dua insan yang saling  mencintai. Saya tidak mau hanya mementingkan ego sendiri. Apalagi saya hanyalah wanita penderita leukemia, mungkin sebentar lagi juga meninggal.” Habibah terisak pilu dengan nada penyesalan.
Cukup! Habibah! Ada apa sebenarnya dengan dirimu? Aku benar-benar tak mengerti. Ayo, aku rapikan make up mu, dan bersiaplah untuk akad nikah  ini. biar aku yang meminta opak penghulu segera memulai acaranya.” Nabila berusaha menenangkan.
Enggak Bil. Kau tidak usah berpura-pura tegar. Aku sudah tahu semuanya.” Tangisan habibah masih mengiringi pembicaraan itu.
“Apa maksudmu, Beibh?” Tangis Nabila akhirnya pecah juga.
Ini. tanpa sengaja aku temukann buku kecil ini dekat tasmu. Aku sudah membacanya. Kau jahat Nabila…Kau jahat.” Tangisan Habibah semakin tak terbendung.
Nabila tertegun. Kaku. Pilu.tak ada kata yang mampu ia ucapkan kembali. Ia sadar begitu cerobohnya dia, sehingga buku catatan hariannya bisa berada di tangan habibah. Dia ingat, ada banyak cerita yang tertulis dibuku itu. Termasuk kisah ta’arufnya dengan Mas Haerul.


Karya : Maya N. Umarro

0 komentar:

Posting Komentar