“Kamu
cantik banget, Beib! Anggun, bak bidadari.” Puji Nabilah pada wanita bergaun
pengantin warna putih di depannya.
“Ah,
kamu paling pandai merayu, Bil.” Ujar gadis itu dengan tersipu.
“Kira-kira
rombongan calon pengantin laki-laki akan tiba jam berapa?” Nabila kembali bertanya seraya merapikan melati yang
menghiasi kepala gadis itu.
“Mmm…
Sekitar jam delapan, Bil. Kenapa?”
“Oh,
gak kenapa-napa. Gak sabar aja liat dirimu bersanding dengan ikhwan yang sangat kamu harapkan.” Ujar
Nabila kembali.
Gadis
itu hanya tersenyum sambil menatap wajahnya yang terpantul di cermin. Sesekali
merapikan jilbab putihnya dengan aneka hiasan dan rangkaian bunga melati.
Nabila berlalu kearah dapur dan ikut mempersiapkan makanan yang harus
dihidangkan untuk para tamu. Dia sangat antusias sekali, karena ini adalah hari
bersejarah dalam hidup sahabatnya itu. Ya, sahabat yang sudah ia anggap sebagai
saudara sendiri. Sahabat yang baik hatinya. Sahabat yang selalu mengingatkannya
akan kewajiban yang lima waktu, sholat.
Maklum lah, Nabila lahir dan dibesarkan dalam keluarga berada. Tapi kurang
memahami agama. Dia termasuk gadis yang beruntung bisa berada di sekeliling
orang-orang baik. Termasuk keluarga sahabatnya itu, Habibah. Beib, biasa gadis
itu dipanggil. Nama yang cantik, bukan? Ya, Habibah adalah wanita cantik juga
sholehah. Tapi, setiap manusia tidak ada yang sempurna. Habibah tercipta dengan
segala kelebihan, pun tidak terlepas dengan segala kekurangannya.
Senandung
nasyid terdengar begitu merdu, menambah khusuk sebuah akad yang akan
dilafadzkan dan resepsi yang akan digelar beberapa saat lagi. Dibalik senyuman
Habibah dan orang-orang sekitar, dibalik harumnya melati yang terurai, disudut
ruang yang bertirai merah, jauh di dalam qolbu, di ujung harapan, ada setitik
asa yang meleleh, lalu beku bertahan dalam kesabaran dan ketulusan yang terus
ia perjuangkan.
Nabila
kemudian keluar menghampiri salah satu sahabatnya lagi, Mba Mei, yang sedang asyik
bermain hp di kursi penerima tamu.
“Kenapa,
Bil? Kamu kok kayak yang gak semangat gitu. Sakit?” Tanya Mei yang kemudian
tangannya meraih kotak berisi souvenir untuk para tamu.
“Owh,
I’m okay. Cuma kecapean dikit aja mungkin.” Jawab Nabila sedikit menyembunyikan
kenyataan.
“Ya sudah, sekarang kamu
temenin saya di sini saja, ya? Biar gak terlalu capek wara-wiri ngurusin
keperluan Habibah dan makanan di belakang.” Mei
sedikit menyarankan
“Iya,
Mba. Aku temenin Mba disini aja ya.” Suara
Nabila agak lesu.
“Mba,
Habibah terlihat sangat bahagia sekali akan menjadi istrinya Mas Haerul.”
Lanjutnya.
Mei
hanya tersenyum, menatap penuh kasih untuk meneguhkan hati Nabila yang duduk di
sampingnya.
“Sepertinya
rombongan calon pengantin laki-laki sudah datang, Bil.” Mei menunjuk kearah jalan
mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
Di
ujung jalan, pertigaan komplek terliahat beberapa mobil datang menuju lokasi
hajat. Ternyata, memang benar rombongan calon pengantin laki-laki. Mereka turun dari mobil. Ada banyak ibu-ibu
dan bapak-bapak dalam rombongan itu, juga anak-anak kecil dan para gadis cantik
membawa berbagai jenis kado termasuk untuk mahar.
Rombongan
itu berjalan mendekati lokasi. Nampak paling depan seorang laki-laki memakai
setelan jas hitam, kemeja putih dan dasi juga kopeah di kepalanya. Gagah
sekali. Didampingi ibu dan bapak memakai
baju yang seragam.
Mereka
berjalan semakin dekat dengan pintu utama. Nabila dan Mei berdiri untuk
menyambut kedatanngan mereka. Nabila Nampak begitu gelisah, ia berusaha untuk
tersenyum. Tapi, ia tak bisa bertahan. Tak mampu berdiri lama. Hatinya sesak.
Air matanya mendesak. Tepat ketika ia
melihat laki-laki berjas hitam itu, pada saat itu pula mata mereka perpapasan.
Terlukis tatapan yang sayu dimata mereka. Dengan segera Nabila memalingkan
pandangan.
“Mba Mei, boleh Nabila pinjam
kunci motornya sebentar.” Pintanya dengan mendadak.
“lho,
mau kemana, say?
Sekarang kan sedang sibuk-sibuknya mengurus tamu. Mba mohon, Bil, sabarlah.”
Mei mencoba menggenggam
tangan nabila untuk menguatkan.
“Please,
Mba. Aku Cuma mau beli
tissue saja di toko seberang jalan raya sana.” Nabila beralasan.
“Tapi
jangan lama-lama ya. Segera kembali.” Ucap Mei
sembari memberikan kunci motor pada Nabila.
“Iya.
Insya Allah.” Nabila mengambil kunci itu. Lalu segera berlalu meninggalkan
temapat pernikahan itu.
“Hati-hati.”
Teriak Mei penuh kekhawatiran.
Namun,
nabila seperti tak menghiraukan. Ia langsung tancap gas dan hilang di ujung
jalan.
Air
mata yang dari tadi mendesaknya, seketika itu pula ia tumpahkan. Tangisannya
pecah. Entah dengan
kecepatan berapa kilometer Nabila menginjak gas. Angin terus menampar wajahnya,
pipinya basah, hatinya hancur. Ia bukanlah malaikat yang mampu mengabdi
sepenuhnya pada Rabb-nya. Meski dirinya terus berusaha untuk meraih sebuah
ketulusan. Tapi, ia hanya wanita biasa yang tak mampu menahan sakit, tekanan,
dan luka hati yang berdarah.
Motor
yang ia kendarai bergerak terus menuju suatu tempat. Dimana, disanalah biasanya
Nabila mencurahkan segala
perasaanya.
Palutungan.
Ya, sebuah bumi perkemahan di kaki gunung Ceremai. Tempat itu bisa di tempuh
beberapa kilometer dari desa Palutungan. Persawahan dan kebun-kebun
menjadi pemandangan yang sangat
menyegarkan dalam perjalanan menuju tempat itu.
Setelah
menyimpan motornya di tempat yang aman. Satu tempat yang langsung Nabila tuju adalah Curug
Ciputri. Sebuah air terjun yang menjadi tempat pariwisata dan telah banyak
dikunjungi oleh orang-orang dari luar kota. Kebetulan saat itu curug (air terjun) sedang tak
banyak pengunjung. Nabila duduk diatas sebuah batu. Air matanya kembali
menetes. Matanya menatap lesu sebuah air terjun di hadapannya.
“Ya
Allah, dengan cara apa aku berdamai dengan hati dan perasaan ini? Aku kalah Ya
Rabb. Tak mampu menghadirkan arti tulus demi sahabat tercinta. Ampuni hamba Ya
Rabb, bahwa tak sepenuhnya hamba mampu untuk mencintai-Mu saja. Beri kesempatan
sekali lagi Ya Rabb… Hamba mohon dengan sangat.” Nabila mencoba merenung.
Tiba-tiba
handphone dalam tasnya berdering. Seketika, lamunan Nabila buyar. Lalu dia
mengambil handphonenya. Panggilan, Mba
Mei. Tidak biasanya beliau meneleponnya. Lalu Nabila
menerima panggilan itu.
“Assalamu’alaikum.
Iya Mba, ada apa?” jawab
Nabila
“Wa’alakumussalam.
Bil, kamu dimana?
Cepetan pulang! Gawat nih! Pokoknya kamu harus
pulang sekarang, ke rumah Habibah. Kalau kamu gak kesini. Akad nikah tidak akan
pernah dimulai.” Teriak Mei
di ujung telepon dengan suara penuh kekhawatiran.
Belum
juga nabila menimpali, tapi Mei
sudah menutup teleponnya.
Hati
Nabila gusar. Penuh tanda tanya. Entah apa yang terjadi di pesta pernikahan
itu. Dia ingat dengan kata-kata Mei
tadi, jika dia tidak buru-buru pulang, maka akad tidak akan pernah dimulai.
“Ada apakah gerangan??”
Batin Nabila bergejolak.
Dengan
segera Nabila menaiki tangga
yang terbuat dari tanah merah itu, lalu
belari menuju parkiran motor. Dan dengan cepat ia menghidupkan mesin motor dan melaju untuk
kembali ke tempat pernikahan Habibah dan Mas
Haerul. Meski luka masih menganga, demi
sahabat tercinta ia kuatkan
diri apapun yang akan terjadi.
Sesampainya
di tempat pernikahan. Terlihat orang-orang ramai, entah membicarakan hal apa. Mba Mei langsung menghampiri
dan menarik tangan Nabila.
“Nabila!
Kemana aja sih kamu. Ayo kesini. Kamu harus segera temui Habibah dikamarnya.”
Sambil menyelinap di tengah para tamu, Mei
dan Nabila dengan tergesa menuju kamar pengantin, dimana Habibah berada.
“Apa
yang sebenarnya terjadi sih, Mba?
Nabila mencoba bertanya.
“Nanti
juga kamu tahu sendiri.” Tukas Mei.
Setelah sampai di depan
sebuah pintu kamar yang terkunci rapat. Mei
mencoba mengetuk pintu itu.
“Beib.
Tolong buka pintunya ya. Nabila sudah ada disini.” Bujuk Mei dengan suara lembut.
Lalu,
pintupun terbuka. Dan mata Habibah
terilihat begitu lembab. Make up yang tadi pagi sangat menawan, kini memudar
oleh sapuan air mata.
“Beibh sayang, kenapa?” Nabila
langsung memeluknya.
“Bil,
menikahlah dengan Mas Haerul.
Sebuah kedzaliman jika saya memisahkan dua insan yang saling mencintai. Saya tidak mau hanya mementingkan
ego sendiri. Apalagi saya hanyalah wanita penderita leukemia, mungkin sebentar
lagi juga meninggal.” Habibah terisak pilu dengan nada penyesalan.
“Cukup! Habibah! Ada apa sebenarnya
dengan dirimu? Aku benar-benar tak mengerti. Ayo, aku rapikan make up mu, dan
bersiaplah untuk akad nikah ini. biar
aku yang meminta opak penghulu segera memulai acaranya.” Nabila berusaha
menenangkan.
“Enggak Bil. Kau tidak
usah berpura-pura tegar. Aku sudah tahu semuanya.” Tangisan habibah masih
mengiringi pembicaraan itu.
“Apa
maksudmu, Beibh?”
Tangis Nabila akhirnya
pecah juga.
“Ini. tanpa sengaja aku
temukann buku kecil ini dekat tasmu. Aku sudah membacanya. Kau jahat Nabila…Kau
jahat.” Tangisan Habibah semakin tak terbendung.
Nabila
tertegun. Kaku. Pilu.tak ada kata yang mampu ia ucapkan kembali. Ia sadar
begitu cerobohnya dia, sehingga buku catatan hariannya bisa berada di tangan
habibah. Dia ingat, ada banyak cerita yang tertulis dibuku itu. Termasuk kisah
ta’arufnya dengan Mas Haerul.
Karya : Maya N. Umarro
0 komentar:
Posting Komentar