Saling berbagi dan menebar hikmah. Semoga catatan-catatan di blog ini bermanfaat. Salam ukhuwah fillaah. ^_^
RSS

Cerpen Anak



HADIAH DARI RAISYA
Oleh: Maya N. Umaro

 Raisya dan Afika. Dua gadis kecil itu segera merapikan tempat tidur mereka masing-masing setelah selesai sholat subuh bersama ayah dan ibunya. Raisya sebagai kakak yang baik, harus mengajak adiknya untuk membiasakan membantu pekerjaan ibu di rumah. Termasuk merapikan tempat tidur.


“Dek, kakak hari ini seneng banget.” Raisya memulai pembicaraan bersama adiknya, Afika.
“Pasti karena mau dapat hadiah dari ibu, kan?” Afika menyahut sambil cemberut di tepi tempat tidurnya yang masih belum terlihat rapi.
“lho, ko tau?”
“Tau dong. Tadi malem Fika denger. Kakak minta hadiah sama ibu kalau kakak menjadi juara pertama lagi di kelas.” Afika mencoba merapikan selimutnya.
“Hmm, ibu kan pernah bilang. Kalau kakak berhasil jadi juara pertama lagi di kelas, kakak bakalan dikasih hadiah. Jadi gak salah dong kalau kaka ngingetin ibu lagi atas janjinya itu.”
“Memangnya kak Raisya yakin, tahun ini menjadi juara pertama lagi? Afika kurang yakin tuh. Weew!” Afika masih cemberut dan dipeluknya guling yang ada di dekatnya.
“Iih, kok gitu sih dek. Bukannya do’ain kakak. Nanti kalau kakak dapat hadiah kan Fika juga dapat bagiannya.” Raisya terkekeh merayu adiknya.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol di kamar. Bu Mawar, Ibu tersayang mereka, memanggilnya dari ruang makan.
“Raisya, Afika. Ayo kita sarapan dulu, nak. Mumpung nasi gorengnya masih hangat, nih.” Sahutnya yang sudah berada di ruang makan bersama ayah.
“ Iya, Bu”
Raisya dan Afika serentak menjawab. Lalu, bergegas menuju ruang makan.
“Afika, hari ini ibu mau mengambil raportnya Kak Raisya. Karena Fika libur sekolahnya, jadi Fika ikut ibu ke sekolah Kak Raisya. Ya?”
Afika menganggukkan kepala menyetujui ajakan ibunya.
Seperti biasa, Pak Marwan, ayah mereka, selalu mengantarkan Raisya dan Afika ke sekolahnya. Kalau sedang di luar kota, Bu Mawar yang menggantikan Pak Marwan mengantarkan anak-anaknya menggunakan angkutan umum. Tapi hari ini, Bu Mawar dan juga Afika berangkat bersama-sama ke sekolah Raisya karena hari ini adalah hari penerimaan raport Raisya.
Suasana sekolah berbeda. Tak seperti biasanya. Lebih ramai. Mungkin karena banyaknya orang tua siswa yang ingin mengambil raport anak-anaknya dan menyaksikan anaknya menjadi juara kelas. Biasanya yang dipanggil dan diumumkan di depan kelas adalah siswa yang menjadi juara 10 besar.
Bu Mawar, Afika dan Raisya duduk di bangku barisan depan. Setelah mendengarkan pidato dari kepala sekolah dan guru perwakilan kelas. Kini saat yang ditunggu oleh semuanya. Yaitu pengumuman juara pertama sampai juara sepuluh besar. Dari kelas satu sampai kelas lima. Kelas satu sampai empat telah selesai diumumkan. Mereka bersorak gembira dengan prestasi yang diraih.
Raisya nampak tegang menunggu pengumumann selanjutnya. Afika yang duduk disampingya asyik dengan es krim yang dibelinya di depan pintu gerbang tadi.
“Baiklah, hadirin semuanya. Untuk kelas 5 SD harapan bangsa. Juara pertama diraih oleh…” terdengar jelas suara ibu Mita sebagai wali kelasnya.
“Juara pertama diraih oleh… Suci Endah Lestari. Juara kedua Diraih oleh… Raisya Fataniyah. Yang ketiga… Tubagus Irawan…”
Suara ibu Mita nyaring diiringi tepuk tangan semua yang hadir disana. Raisya hanya tertunduk dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya mulai berair.
“Loh, Kak Raisya juara kedua? Bukannya juara pertama!” Afika berceloteh yang secara tidak sengaja membuat Raisya sedih dan ingin segera menangis.
Tiba-tiba Raisya berlari keluar ruangan saat ibunya sedang mengambil hadiah juara di depan kelas. Setelah mengambil hadiah, Bu Mawar dan Afika langsung mencari Raisya. Terlihat Raisya sedang duduk disamping tanaman bunga anggrek dengan tangisan yang tersedu-sedu.
“Bu, Kak Raisya sedih karena tidak menjadi juara pertama, ya?” Afika memegang tangan ibunya dan mendekati Raisya
“Sayang. Ibu gak akan marah kok kalau nilai raport Raisya menurun. Dengan menjadi juara kedua pun ibu sudah bangga.” Bu Mawar mencoba menenangkan.
“Tapi, Bu. Raisya gak mau jadi juara kedua. Semua yang ada di raportku dari kelas satu satu sampai kelas empat semuanya juara pertama.” Raisya berucap sambil terisak.
“Hmm, Ibu yakin Raisya anak yang baik. Ikhlaskan ya sayang. Jadikan pelajaran bahwa nanti Raisya harus lebih giat belajar lagi. Biar bisa meningkatkan kembali prestasinya. Dan mungkin orang lainpun ingin merasakan bagaimana menjadi juara pertama. Termasuk teman Raisya itu. Mm… siapa namanya?”
“Suci Endah Lestari.” Jawab Raisya yang masih cemberut.
“Oh, iya, Suci.” Ibunya menegaskan
“Kakak gak jadi dong dapat hadiahnya.” Afika menggodanya sambil terkekeh
“Ssstt.. Tenang. Ibu akan tetap memberikan kak Raisya hadiah. Begitupun dengan Afika.”
Bu Mawar mencoba menghibur kedua anak-anak yang dicintainya itu.
“Horee… Kita tetep dapet hadiah Kak.” Afika meloncat-loncat bahagia
“Loh, kok hore. Bilang apa coba?” Ibu memeluk kedua anaknya.
“Oh iya, Alhamdulillah.” Afika mengucapkannya dengan fasih sambil tersenyum.
Raisya pun mulai bisa tersenyum. Lalu mereka berjalan menuju gerbang meninggalkan sekolah SD Harapan Bangsa. Saat menunggu bus di halte. Lagi-lagi Afika merengek minta Es krim. Bu Mawar menurutinya dengan membeli dua buah Es krim. Satu untuk Afika, dan satu lagi untuk Raisya.
Ketika sedang asyik menikmati es krim. Raisya melihat seorang temannya yang duduk tidak jauh dari halte bus. Di bawah pohon rindang, dekat taman kota. Dia memegang kotak hadiah, tapi pipinya basah dengan air mata. Dengan segera Raisya menghampirinya.
“Suci. Sedang apa kamu disini? Kenapa menangis? Kamu kan sudah berhasil mengalahkanku. Jadi juara pertama dikelas.” Raisya duduk disampingnya.
“Eh, kamu Raisya. Aku.. Sedih aja. Dan aku gak maksud mengalahkanmu kok. Aku hanya pernah berdoa agar bisa jadi juara seperti kamu. Biar ibuku bangga melihatku dan memberikan hadiah ini kepada ibuku. Lalu, aku coba belajar dengan rajin. Dan sekarang ketika aku bisa meraih juara pertama. Ibuku sudah tidak ada di dunia lagi.” Suci menyeka air matanya dengan ujung bajunya.
Raisya Nampak terharu, ia sadar selama ini dia hanya mengharapkan hadiah dari ibunya. Bukan memberinya hadiah.
“Maafkan aku, Suci. Mm… Andai ibumu masih ada di dunia ini, pasti beliau bangga melihatmu jadi juara pertama.” Raisya menepuk pundak Suci dan tersenyum.
Mereka lalu berpelukan dan keduanya bisa tersenyum kembali.
“Suci, terimalah ini. Ini untukmu saja. Sebagai hadiah dariku.” Raisya memberikan kotak hadiahnya.
“Tidak, Raisya. Itu kan hadiah milikmu. Aku gak berhak menerimanya.” Jawab suci
“Kata siapa? Kamu berhak kok menerimanya. Aku ikhlas.” Raisya tersenyum tulus pada Suci.
Dari kejauhan, ibu Mawar memanggil Raisya karena bus yang ditunggunya dari tadi telah tiba.
“Raisya! Ayo kita pulang!” Teriak Bu Mawar
“Iya, Bu! Suci, aku pulang dulu ya. Ini. pokoknya kamu harus terima hadiah ini.” Raisya meletakkan kotak hadiahnya di samping  Suci. Lalu berlari menuju ibunya.
“Makasih ya Raisya!” Teriak suci.
Raisya hanya tersenyum dari kejauhan dan mengacungkan kedua jempolnya.
Bu Mawar, Afika dan Raisya lalu bergegas menaiki bus yang berhenti dihadapan mereka. Bus melaju. Angin mengibas kerudung Raisya yang duduk di dekat jendela. Matanya memadang setiap apa yang dilaluinya. Raisya teringat kembali apa yang menimpa Suci temannya. Ia bersyukur masih mempunyai Ayah dan ibu yang bisa mengantarkan pulang dan pergi ke sekolah, memberikannya hadiah, dan menyaksikannya sebagai juara kelas.
Di tatapnya wajah ibunya yang duduk disampingya. Lalu, ia peluk erat ibunya.
“Bu, ibu jangan marah ya. Hadiah juara kelas tadi, Raisya kasihkan ke Suci. Raisya ingin memberinya hadiah karena dia bisa jadi juara pertama.” Raisya berkata pelan dekat telinga ibunya.
“Kenapa ibu mesti marah. Ibu bahkan senang. Itukan perbuatan baik. Dengan saling memberi hadiah, kita akan saling menyayangi.” Bu Mawar berkata dengan lembut.
“Ibu, Raisya sayang ibu. Raisya gak mau kehilangan ibu.” Bisiknya dalam hati.
Ibu Mawar hanya tersenyum. Bus terus melaju. Dengan penuh harap selamat sampai di rumah.

0 komentar:

Posting Komentar