HADIAH DARI RAISYA
Oleh:
Maya N. Umaro
Raisya dan
Afika. Dua gadis kecil itu segera merapikan tempat tidur mereka masing-masing
setelah selesai sholat subuh bersama ayah dan ibunya. Raisya sebagai kakak yang
baik, harus mengajak adiknya untuk membiasakan membantu pekerjaan ibu di rumah.
Termasuk merapikan tempat tidur.
“Dek, kakak hari ini seneng banget.” Raisya memulai
pembicaraan bersama adiknya, Afika.
“Pasti karena mau dapat hadiah dari ibu, kan?” Afika
menyahut sambil cemberut di tepi tempat tidurnya yang masih belum terlihat
rapi.
“lho, ko tau?”
“Tau dong. Tadi malem Fika denger. Kakak minta
hadiah sama ibu kalau kakak menjadi juara pertama lagi di kelas.” Afika mencoba
merapikan selimutnya.
“Hmm, ibu kan pernah bilang. Kalau kakak berhasil
jadi juara pertama lagi di kelas, kakak bakalan dikasih hadiah. Jadi gak salah
dong kalau kaka ngingetin ibu lagi atas janjinya itu.”
“Memangnya kak Raisya yakin, tahun ini menjadi juara
pertama lagi? Afika kurang yakin tuh. Weew!” Afika masih cemberut dan
dipeluknya guling yang ada di dekatnya.
“Iih, kok gitu sih dek. Bukannya do’ain kakak. Nanti
kalau kakak dapat hadiah kan Fika juga dapat bagiannya.” Raisya terkekeh merayu
adiknya.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol di kamar. Bu
Mawar, Ibu tersayang mereka, memanggilnya dari ruang makan.
“Raisya, Afika. Ayo kita sarapan dulu, nak. Mumpung
nasi gorengnya masih hangat, nih.” Sahutnya yang sudah berada di ruang makan
bersama ayah.
“ Iya, Bu”
Raisya dan Afika serentak menjawab. Lalu, bergegas
menuju ruang makan.
“Afika, hari ini ibu mau mengambil raportnya Kak Raisya.
Karena Fika libur sekolahnya, jadi Fika ikut ibu ke sekolah Kak Raisya. Ya?”
Afika menganggukkan kepala menyetujui ajakan ibunya.
Seperti biasa, Pak Marwan, ayah mereka, selalu
mengantarkan Raisya dan Afika ke sekolahnya. Kalau sedang di luar kota, Bu
Mawar yang menggantikan Pak Marwan mengantarkan anak-anaknya menggunakan
angkutan umum. Tapi hari ini, Bu Mawar dan juga Afika berangkat bersama-sama ke
sekolah Raisya karena hari ini adalah hari penerimaan raport Raisya.
Suasana sekolah berbeda. Tak seperti biasanya. Lebih
ramai. Mungkin karena banyaknya orang tua siswa yang ingin mengambil raport
anak-anaknya dan menyaksikan anaknya menjadi juara kelas. Biasanya yang dipanggil
dan diumumkan di depan kelas adalah siswa yang menjadi juara 10 besar.
Bu Mawar, Afika dan Raisya duduk di bangku barisan
depan. Setelah mendengarkan pidato dari kepala sekolah dan guru perwakilan
kelas. Kini saat yang ditunggu oleh semuanya. Yaitu pengumuman juara pertama
sampai juara sepuluh besar. Dari kelas satu sampai kelas lima. Kelas satu
sampai empat telah selesai diumumkan. Mereka bersorak gembira dengan prestasi
yang diraih.
Raisya nampak tegang menunggu pengumumann
selanjutnya. Afika yang duduk disampingya asyik dengan es krim yang dibelinya
di depan pintu gerbang tadi.
“Baiklah, hadirin semuanya. Untuk kelas 5 SD harapan
bangsa. Juara pertama diraih oleh…” terdengar jelas suara ibu Mita sebagai wali
kelasnya.
“Juara pertama diraih oleh… Suci Endah Lestari.
Juara kedua Diraih oleh… Raisya Fataniyah. Yang ketiga… Tubagus Irawan…”
Suara ibu Mita nyaring diiringi tepuk tangan semua
yang hadir disana. Raisya hanya tertunduk dengan apa yang baru saja didengarnya.
Matanya mulai berair.
“Loh, Kak Raisya juara kedua? Bukannya juara
pertama!” Afika berceloteh yang secara tidak sengaja membuat Raisya sedih dan
ingin segera menangis.
Tiba-tiba Raisya berlari keluar ruangan saat ibunya
sedang mengambil hadiah juara di depan kelas. Setelah mengambil hadiah, Bu
Mawar dan Afika langsung mencari Raisya. Terlihat Raisya sedang duduk disamping
tanaman bunga anggrek dengan tangisan yang tersedu-sedu.
“Bu, Kak Raisya sedih karena tidak menjadi juara
pertama, ya?” Afika memegang tangan ibunya dan mendekati Raisya
“Sayang. Ibu gak akan marah kok kalau nilai raport
Raisya menurun. Dengan menjadi juara kedua pun ibu sudah bangga.” Bu Mawar
mencoba menenangkan.
“Tapi, Bu. Raisya gak mau jadi juara kedua. Semua
yang ada di raportku dari kelas satu satu sampai kelas empat semuanya juara
pertama.” Raisya berucap sambil terisak.
“Hmm, Ibu yakin Raisya anak yang baik. Ikhlaskan ya sayang.
Jadikan pelajaran bahwa nanti Raisya harus lebih giat belajar lagi. Biar bisa
meningkatkan kembali prestasinya. Dan mungkin orang lainpun ingin merasakan
bagaimana menjadi juara pertama. Termasuk teman Raisya itu. Mm… siapa namanya?”
“Suci Endah Lestari.” Jawab Raisya yang masih
cemberut.
“Oh, iya, Suci.” Ibunya menegaskan
“Kakak gak jadi dong dapat hadiahnya.” Afika
menggodanya sambil terkekeh
“Ssstt.. Tenang. Ibu akan tetap memberikan kak Raisya
hadiah. Begitupun dengan Afika.”
Bu Mawar mencoba menghibur kedua anak-anak yang
dicintainya itu.
“Horee… Kita tetep dapet hadiah Kak.” Afika
meloncat-loncat bahagia
“Loh, kok hore. Bilang apa coba?” Ibu memeluk kedua
anaknya.
“Oh iya, Alhamdulillah.” Afika mengucapkannya dengan
fasih sambil tersenyum.
Raisya pun mulai bisa tersenyum. Lalu mereka
berjalan menuju gerbang meninggalkan sekolah SD Harapan Bangsa. Saat menunggu
bus di halte. Lagi-lagi Afika merengek minta Es krim. Bu Mawar menurutinya dengan
membeli dua buah Es krim. Satu untuk Afika, dan satu lagi untuk Raisya.
Ketika sedang asyik menikmati es krim. Raisya
melihat seorang temannya yang duduk tidak jauh dari halte bus. Di bawah pohon
rindang, dekat taman kota. Dia memegang kotak hadiah, tapi pipinya basah dengan
air mata. Dengan segera Raisya menghampirinya.
“Suci. Sedang apa kamu disini? Kenapa menangis? Kamu
kan sudah berhasil mengalahkanku. Jadi juara pertama dikelas.” Raisya duduk disampingnya.
“Eh, kamu Raisya. Aku.. Sedih aja. Dan aku gak
maksud mengalahkanmu kok. Aku hanya pernah berdoa agar bisa jadi juara seperti
kamu. Biar ibuku bangga melihatku dan memberikan hadiah ini kepada ibuku. Lalu,
aku coba belajar dengan rajin. Dan sekarang ketika aku bisa meraih juara
pertama. Ibuku sudah tidak ada di dunia lagi.” Suci menyeka air matanya dengan
ujung bajunya.
Raisya Nampak terharu, ia sadar selama ini dia hanya
mengharapkan hadiah dari ibunya. Bukan memberinya hadiah.
“Maafkan aku, Suci. Mm… Andai ibumu masih ada di
dunia ini, pasti beliau bangga melihatmu jadi juara pertama.” Raisya menepuk
pundak Suci dan tersenyum.
Mereka lalu berpelukan dan keduanya bisa tersenyum
kembali.
“Suci, terimalah ini. Ini untukmu saja. Sebagai
hadiah dariku.” Raisya memberikan kotak hadiahnya.
“Tidak, Raisya. Itu kan hadiah milikmu. Aku gak
berhak menerimanya.” Jawab suci
“Kata siapa? Kamu berhak kok menerimanya. Aku
ikhlas.” Raisya tersenyum tulus pada Suci.
Dari kejauhan, ibu Mawar memanggil Raisya karena
bus yang ditunggunya dari tadi telah tiba.
“Raisya! Ayo kita pulang!” Teriak Bu Mawar
“Iya, Bu! Suci, aku pulang dulu ya. Ini. pokoknya
kamu harus terima hadiah ini.” Raisya meletakkan kotak hadiahnya di samping Suci. Lalu berlari menuju ibunya.
“Makasih ya Raisya!” Teriak suci.
Raisya hanya tersenyum dari kejauhan dan
mengacungkan kedua jempolnya.
Bu Mawar, Afika dan Raisya lalu bergegas menaiki bus
yang berhenti dihadapan mereka. Bus melaju. Angin mengibas kerudung Raisya yang
duduk di dekat jendela. Matanya memadang setiap apa yang dilaluinya. Raisya
teringat kembali apa yang menimpa Suci temannya. Ia bersyukur masih mempunyai
Ayah dan ibu yang bisa mengantarkan pulang dan pergi ke sekolah, memberikannya
hadiah, dan menyaksikannya sebagai juara kelas.
Di tatapnya wajah ibunya yang duduk disampingya.
Lalu, ia peluk erat ibunya.
“Bu, ibu jangan marah ya. Hadiah juara kelas tadi,
Raisya kasihkan ke Suci. Raisya ingin memberinya hadiah karena dia bisa jadi
juara pertama.” Raisya berkata pelan dekat telinga ibunya.
“Kenapa ibu mesti marah. Ibu bahkan senang. Itukan
perbuatan baik. Dengan saling memberi hadiah, kita akan saling menyayangi.” Bu
Mawar berkata dengan lembut.
“Ibu, Raisya sayang ibu. Raisya gak mau kehilangan
ibu.” Bisiknya dalam hati.
Ibu Mawar hanya tersenyum. Bus terus melaju. Dengan
penuh harap selamat sampai di rumah.
0 komentar:
Posting Komentar