Saling berbagi dan menebar hikmah. Semoga catatan-catatan di blog ini bermanfaat. Salam ukhuwah fillaah. ^_^
RSS

Fatamorgana Kesunyian

Aku tak hendak memahat kesakitan di ruang hati siapapun. Kata-kataku adalah nyanyian semesta yang mengalun bersama irama hati, dan terkadang menjadi melodi dalam kesunyian. Terserah saja orang menafsirkan setiap syair-syairku, termasuk juga kau. Aku tak sakit hati saat kau bilang padaku,”berhentilah menggilai kesunyian.” Komputer  di kamar tempat aku berimajinasi masih menyala, sedang belum satu puisipun kurangkai dengan sempurna. Aku kembali tersenyum dengan mengulang-ulang membaca pesan di layar Hpku.


Bergegas kumatikan layar komputer, sebentar ku tengok langit di luar jendela. Seperti biasanya, sunyi. Ini memang bukan malam purnama, seperti yang sering kau ceritakan,”Setiap purnama, aku selalu mencoba membacakan puisimu di depan teman-temanku. Bersatu bersama alam. Lalu, mentafakuri proses demi proses hidup yang telah dan sedang dijalani.” Dengan seksama kutuluskan hati untuk senantiasa mendengarkan cerita-ceritamu.
“Ah, kau terlalu banyak bicara.” Kataku dalam jeda bicaramu.
“Lalu kau mau aku bagaimana?” Suaranya terdengar sedikit meninggi.
“Menikahlah denganku.” Tanpa kode aku lemparkan ajakan itu.
Hening. Lalu, tanpa kata kau tutup pembicaraan kita malam itu. Adakah yang salah dalam perkataanku? Mengajak menikah kepada seorang perempuan yang sudah mapan dari segi usia seperti dirimu, apakah itu sebuah kesalahan? Kau memang seperti itu, selalu menyembunyikan tangis dibalik senyum dan nada bicaramu.
Aku memang hanya seorang penyair tanpa nama. Journalist tanpa nilai excellent dalam akademis. Mengejar-ngejar berita sudah menjadi pekerjaanku dengan gaji yang tidak terlalu besar, yang penting cukup untuk menghidupi ibu dan kedua adik-adikku di desa. Tabunganku cukup untuk mengurusi apa-apa yang dibutuhkan untuk pernikahan nanti, termasuk mahar. Tak perlu perhelatan yang megah. Akad dan resepsi pernikahan kita rancang sederhana saja. Keberkahan dan keridhoan, bukankah itu yang kita inginkan?
Sudah terlalu lama aku menunggu jawaban setiap pertanyaan yang aku tujukan untukmu. Kau selalu saja tak bergeming.
Aku mencoba untuk memahamimu. Pertemanan kita di jejaring sosial telah menyimpan banyak kisah. Menggoreskan banyak syair di ujung pena. Meski belum tahu bagaimana rupamu, puisi ini selalu saja ingin mengisahkan tentangmu. Kau, perempuan bernama Permata Jingga. Indah tuturmu, juga tulisanmu saat kau menyapaku setiap purnama sempurna ataupun setengah sempurna. Namamu selalu menjadi tema rindu di kesunyian malam dan menjadi hiasan setiap diksi dalam syair-syairku.
“Hai, Penyair Sunyi”. Sapamu seperti biasa di kotak chat layar komputerku.
“Permata Jingga, tak usah kau bermanis kata jika hanya luka yang hendak kau toreh.” Aku sedikit kesal karena lama sekali dia menghilang.
“Luka? Adakah luka yang mesti kubayar karena keinginanmu semata? Sedangkan luka tanpa nama telah kau lupa.” Jawabnya tanpa aku mengerti apa maksudnya.
“Tahukah kau, setiap syairmu adalah luka untukku. Sepekan kemarin kau mengharapkan aku menjadi istrimu. Aku menanti. Lalu aku kecewa karena kau ingkari janjimu. Tak pernah ada kejelasan lagi darimu” Pesannya terus menghujani layar chat ku.
Jariku kelu untuk mengetik kata-kata lagi. Aku mengakui hal itu. Terserah kau anggap aku laki-laki seperti apa. Aku hanya butuh jeda saat mengetahui kondisimu yang sebenarnya dari seorang kawan. Dan sepekan kemarin aku mencoba mencari tahu sosokmu. Hanya dari kejauhan aku dapat melihatmu yang tengah asyik bernyanyi bersama murid-muridmu di TK-IT itu. Mencoba berdamai dengan waktu untuk mengembalikan kembali ketulusanku.
“Pengecut!”
Off line….
Ya, aku memang pengecut. Telah membunuh ketulusan yang telah dibangun sekian lama ini. Semua terasa hancur dengan sekejap saat segalanya dinilai dengan tampilan fisik. Batinku tak henti bergejolak. Aku seolah tak mengenal diriku sendiri. Rasanya kau teramat berharga untuk seorang pengecut sepertiku.
Dari awal kau selalu bilang,”jangan pernah terlalu mengharapkan sesuatu yang belum pasti untuk kita. Tugas kita hanyalah melakukan yang terbaik dan berdoa untuk yang terbaik.”
Tanpa disadari kau dan aku telah membangun harapan-harapan yang terlalu tinggi untuk kita raih. Sebuah kesalahan telah kita ambil dalam perjalan hidup ini. terlalu terhanyut dalam sunyi, lalu kita sama-sama satu hati sebelum Tuhan benar-benar mengizinkan.
Kalender telah berganti dua kali saat terakhir kau bilang bahwa aku adalah pengecut. Itu berarti, telah dua tahun lamanya namamu tak lagi ku temukan di beranda jejaring sosial itu. Ada rindu yang terkadang menggodaku. Ada sesal dan ada maaf yang belum kutunaikan. Aku mencoba mencarimu kembali di sudut kota ini, di rumah yang dulu kau pernah berikan alamatnya padaku. Tapi, tidak satupun warga disana mengetahui kemana kau dan keluargamu berpindah tempat. Satu diantara mereka memberitahuku bahwa kau merantau bersama keluargamu ke Kalimantan. Masih dalam satu tanah air, hanya dibatasi laut dan selat. Haruskah aku mencarimu? Andai Kalimatan itu hanya seluas kota Kuningan tempat kelahiranku. Tak usah berfikir panjang lagi untuk langsung mencarimu. Bahkan nomor Hp mu tak satupun yang bisa kuhubungi.
Tidak ada kabar satupun tentangmu yang kudengar. Entah kau sudah menikah atau belum. Entah masih membacakan puisi-puisiku di hadapan teman-temanmu atau tidak. Hanya Tuhan yang tau. Bagaimanapun kondisimu saat ini.
Waktu telah membawaku pada sebuah kisah yang terkadang harus kita simpan untuk kita ambil hikmahnya, atau sebuah cerita yang sama sekali harus ditutup dan dilupakan. Aku, sang penyair sunyi, Husein Abdullah, tak akan lagi membuat luka di hati siapapun melalui syair dan puisi-puisiku. Biarlah kata-kata itu tersimpan hanya untukku saat menikmati kesendirian di tengah malam, atau ketika sedang menikmati kopi hangat di pagi hari.
***
“Kau jadi tak berangkat mengaji sore ini?” Sapa sahabatku saat jam kerja menunjukan waktu untuk istirahat.
“Insya Allah, Nash.” Jawabku seraya merapikan kertas kerjaku yang  berantakan.
“Bukankah kehidupan ini terus mengalir? Arah mana yang kita tempuh dan jalan mana yang akan kita telusuri, itu akan menentukan perubahan dan nilai yang ada pada hidup kita didunia ataupun setelahnya, yaitu kehidupan akhirat.”
Ah, lagi-lagi aku tak mampu untuk melupakan sebagian kata-katamu kala itu, Permata Jingga.
Nashar. Ia hadir membawa warna baru dalam hidupku. Bawaannya yang tenang, wajahnya yang selalu dihiasi senyuman, membuat siapapun merasa nyaman berteman dengannya. Apalagi dengan disiplin waktunya yang hebat. Belum pernah aku melihatnya datang terlambat di tempat kerja. Di tambah lagi, setiap sepekan sekali dia selalu mengajakku untuk menghadiri sebuah majelis ilmu.
“Kita harus seimbangkan antara kebutuhan jasadiah dan ruhaniah kita. Jika setiap hari tubuh kita membutuhkan asupan gizi untuk stamina, setidaknya sepekan sekali kita memberikan asupan gizi pula untuk ruhani kita. Salah satunya dengan rutin menghadiri majelis ilmu.” Tuturnya setelah beberapa menit menjalankan shalat duhur.
Tuhan memang tak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Kebahagiaan dan ketenangan mulai kurasakan setelah beberapa kali menghadiri majelis ilmu itu. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami batasan-batasan dan aturan-aturan dalam agamaku, islam.
Namun, ada satu hal yang membuatku belum tenang jika belum menunaikannya. Saat ibuku bertanya,”kapan kamu akan menikah, Nak? Ibu sudah tak sabar ingin menimang cucu.”
“Iya Bang, kita juga ingin sekali mempunyai ponakan.” Adik-adikku menimpalinya.
“Insya Allah, segera.” Jawabku dengan singkatnya.
Ada harapan yang mulai bersemi, saat waktu yang dinanti itu tiba. Tapi, kemana aku harus meminang bidadari yang kelak akan menjadi tema di setiap syair-syairku. Permata Jingga bukanlah jodoh yang harus kupaksakan. Kisahmu telah terkikis waktu, termakan zaman. Meski sejarahmu masih tersisa di kedalaman sudut hati yang yang penuh noda ini.
Hari ini aku harus memberanikan diri mencari bagian rusukku yang hilang.
“Nash, kau mau membantuku?” Pintaku pada Nashar yang masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai editor.
“Selama dalam kemampuanku. Insya Allah aku akan bantu.” Jawabnya dengan tegas.
“Carikan aku seseorang yang bisa melengkapi tulang rusukku.” Kataku tak lagi ragu.
“Hehe.. Kata-katamu itu ibarat pujangga saja.” Nashar terkekeh dan sekejap berhenti seperti memikirkan sesuatu.
Aku hanya tersenyum lalu duduk disamping meja kerjanya.
“Benar nih kau siap untuk menikah?” Nashar ingin meyakinkan kembali.
“Kau meragukan niatku, Nash?” Aku sedikit kurang sabar.
“Baiklah, besok sore kau datang kerumahku. Bagaimana?”
“Ke rumahmu? Wah, kau ini punya banyak tawanan rupanya.” Aku terkekeh seraya menepuk pundaknya.
“Tawanan yang menanti pahlawan sepertimu kali, bro.” Candanya kadang tak ingin terkalahkan.
Ada lengkung pelangi sore itu. Sehabis gerimis menyapu bumi dari tadi siang. Aku siapkan hati, tekad dan niatku untuk yang satu ini. Angin senja terus menerpa wajahku. Motor yang aku kendarai begitu bersahabat kali ini, tidak ada acara mogok dan jalanan pun begitu lancar, tidak macet seperti hari-hari biasanya.
Setiba di depan rumah bercat biru dengan tanaman hias sekelilingnya. Aku memarkir motorku dekat pohon mangga yang rindang, sebelah utara rumah itu. Lalu aku melangkah menuju pintu rumah. Setelah kuketuk pintu itu dan mengucapkan salam. Terdengar suara Nashar menjawab salamku.
***
Nuansa hijau, bunga-bunga, dan aroma melati telah menghiasi ruangan dan kursi pelaminan. Kata apa yang hendak aku pahat untuk menggambarkan keresahan ini. Perasaan tak menentu saat kehidupan yang baru akan segera aku mulai. Bukan Permata Jingga yang kelak duduk bersanding bersamaku di kursi itu. Tapi, ia adalah Zahara, adik tingkat Nashar waktu di kampusnya dulu. Perkenalanku dengan Zahara hanya berlangsung 1 bulan saja. Setelah itu aku mantapkan untuk melamar dan langsung menentukan tanggal pernikahan.
“Husein, aku lupa membawakan jas hitam untuk kau pakai besok. Kau nanti ikut kerumahku sebentar untuk mengambilnya ya?” Nashar mengingatkanku.
“Siap boss..” Jawabku singkat.
Hujan tidak mau berhenti. Basah bergumul dengan jas hujanku. Aku menggigil. Setelah dipersilahkan masuk. Segera aku duduk di kursi tamu.
Nashar memanggil istrinya untuk mengambilkan dua cangkir teh hangat. Untukku dan untuk Nashar. Mungkin baru kali ini adalah kesempatanku untuk bertemu dan mengenal istri Nashar. Selama ini Nashar memang belum sempat mengenalkan istrinya kepadaku.
Terlihat seorang wanita membawa dua cangkir di tangannya, yang sosoknya sepertinya pernah aku kenal. Balutan jilbabnya, dan… Sebelah kakinya yang pincang, persis seperti gadis yang kulihat dulu di TK itu.
“Permata Jingga!” Bisikku dalam hati.
Tergugu dan termangu atas kenyataan ini. Mata kita beradu pandang, ada hentakkah yang membuat lidah ini kelu untuk berbicara. Dia pun hanya membisu. Terlihat dirinya yang begitu terkejut melihatku. Sunyi kembali menyelinap di ruang hatiku.
Namun tak bertahan lama, suara Nashar menyadarkanku dengan apa yang sedang aku hadapi saat itu.
“Ini Istriku, namanya Permatasari. Kau baru bertemu dengannya kan?” Nashar menjelaskan.
“Oh, iya.” Dengan senyum yang dibuat-buat dan tak ada lagi kata yang dapat ku ucap. Bergejolak berbagai rasa. Ada sesal, ada kecewa, ada sunyi yang tiba-tiba hadir di ruang hatiku. Lalu, aku tertunduk malu, mencoba memfokuskan hatiku pada sang Pemilik Hati.
“Kami belum dikaruniai anak, Sein. Mohon doanya ya.” Nashar tersenyum dan menatap penuh cinta istrinya yang berlalu menuju ruang belakang.
Tak ada lagi nyanyian sunyi yang dulu sering kualunkan. Tanpa kata aku melukis cinta, mengikis kerinduan hampa dan harapan kosong tentang Permata Jingga, ataupun Permatasari sekalipun namanya.
***
Riuh, ramai. Para undangan terus berdatangan untuk mengucapkan doa atas pernikahanku dengan Zahara. Lalu, dua pasang insan itu, Nashar dan Permata menghampiriku. Nashar memelukku, menepuk-nepuk pundakku dengan melafazkan doa barokah untuk pernikahanku dengan Zahara.
“Husein, kenapa kau tak pernah cerita bahwa kau telah mengenal istriku sebelumnya.” Perkataan Nashar mengejutkanku.
“Oh, iya. Aku takut salah orang. Jadi aku tak cerita padamu.” Kataku dengan gugup dan terbata-bata.
“Permata yang bilang padaku, dia mengenalmu di dunia maya dulu. Aku maklumi kamu, Sein. Mungkin sudah terlalu lama kalian tidak bertemu.” Nashar kembali menjelaskan.
 Permata hanya melontar senyum. Senyum penuh ketulusan. Wajah yang menampakkan kebahagiaan. Aku yakinkan tidak semua kisah antara aku dan Permata yang Nashar ketahui.
“Baraakaallah, Jika Rumah tangga dibangun atas nama Allah. Yakinlah sepahit apapun masa lalu dan masa nanti, ia kan menjadi hikmah.” Suaranya yang lembut dan menyentuh membuat bidadari disampingku meneteskan butir bening di sudut matanya. Dipeluknya dengan hangat istriku itu.
Kini aku tau. Ketulusan itu adalah saat tak ada lagi beban perasaan yang menghimpit, dan bahagia saat melihat orang yang kita cintai bahagia. Lalu, menuangkan ketulusan itu pada taman indah yang akan menjadi tempat berpetualang para pewarisku nanti.
Zahara, kaulah permata hatiku kini dan nanti.

0 komentar:

Posting Komentar