Aku
tak hendak memahat kesakitan di ruang hati siapapun. Kata-kataku adalah
nyanyian semesta yang mengalun bersama irama hati, dan terkadang menjadi melodi
dalam kesunyian. Terserah saja orang menafsirkan setiap syair-syairku, termasuk
juga kau. Aku tak sakit hati saat kau bilang padaku,”berhentilah menggilai
kesunyian.” Komputer di kamar tempat aku
berimajinasi masih menyala, sedang belum satu puisipun kurangkai dengan
sempurna. Aku kembali tersenyum dengan mengulang-ulang membaca pesan di layar
Hpku.
Bergegas
kumatikan layar komputer, sebentar ku tengok langit di luar jendela. Seperti
biasanya, sunyi. Ini memang bukan malam purnama, seperti yang sering kau
ceritakan,”Setiap purnama, aku selalu mencoba membacakan puisimu di depan
teman-temanku. Bersatu bersama alam. Lalu, mentafakuri proses demi proses hidup
yang telah dan sedang dijalani.” Dengan seksama kutuluskan hati untuk
senantiasa mendengarkan cerita-ceritamu.
“Ah,
kau terlalu banyak bicara.” Kataku dalam jeda bicaramu.
“Lalu
kau mau aku bagaimana?” Suaranya terdengar sedikit meninggi.
“Menikahlah
denganku.” Tanpa kode aku lemparkan ajakan itu.
Hening.
Lalu, tanpa kata kau tutup pembicaraan kita malam itu. Adakah yang salah dalam
perkataanku? Mengajak menikah kepada seorang perempuan yang sudah mapan dari
segi usia seperti dirimu, apakah itu sebuah kesalahan? Kau memang seperti itu,
selalu menyembunyikan tangis dibalik senyum dan nada bicaramu.
Aku
memang hanya seorang penyair tanpa nama. Journalist tanpa nilai excellent dalam akademis.
Mengejar-ngejar berita sudah menjadi pekerjaanku dengan gaji yang tidak terlalu
besar, yang penting cukup untuk menghidupi ibu dan kedua adik-adikku di desa.
Tabunganku cukup untuk mengurusi apa-apa yang dibutuhkan untuk pernikahan nanti,
termasuk mahar. Tak perlu perhelatan yang megah. Akad dan resepsi pernikahan
kita rancang sederhana saja. Keberkahan dan keridhoan, bukankah itu yang kita
inginkan?
Sudah
terlalu lama aku menunggu jawaban setiap pertanyaan yang aku tujukan untukmu.
Kau selalu saja tak bergeming.
Aku
mencoba untuk memahamimu. Pertemanan kita di jejaring sosial telah menyimpan
banyak kisah. Menggoreskan banyak syair di ujung pena. Meski belum tahu
bagaimana rupamu, puisi ini selalu saja ingin mengisahkan tentangmu. Kau,
perempuan bernama Permata Jingga. Indah tuturmu, juga tulisanmu saat kau
menyapaku setiap purnama sempurna ataupun setengah sempurna. Namamu selalu
menjadi tema rindu di kesunyian malam dan menjadi hiasan setiap diksi dalam
syair-syairku.
“Hai,
Penyair Sunyi”. Sapamu seperti biasa di kotak chat layar komputerku.
“Permata
Jingga, tak usah kau bermanis kata jika hanya luka yang hendak kau toreh.” Aku
sedikit kesal karena lama sekali dia menghilang.
“Luka?
Adakah luka yang mesti kubayar karena keinginanmu semata? Sedangkan luka tanpa
nama telah kau lupa.” Jawabnya tanpa aku mengerti apa maksudnya.
“Tahukah
kau, setiap syairmu adalah luka untukku. Sepekan kemarin kau mengharapkan aku
menjadi istrimu. Aku menanti. Lalu aku kecewa karena kau ingkari janjimu. Tak
pernah ada kejelasan lagi darimu” Pesannya terus menghujani layar chat ku.
Jariku
kelu untuk mengetik kata-kata lagi. Aku mengakui hal itu. Terserah kau anggap
aku laki-laki seperti apa. Aku hanya butuh jeda saat mengetahui kondisimu yang
sebenarnya dari seorang kawan. Dan sepekan kemarin aku mencoba mencari tahu
sosokmu. Hanya dari kejauhan aku dapat melihatmu yang tengah asyik bernyanyi
bersama murid-muridmu di TK-IT itu. Mencoba berdamai dengan waktu untuk
mengembalikan kembali ketulusanku.
“Pengecut!”
Off line….
Ya,
aku memang pengecut. Telah membunuh ketulusan yang telah dibangun sekian lama
ini. Semua terasa hancur dengan sekejap saat segalanya dinilai dengan tampilan
fisik. Batinku tak henti bergejolak. Aku seolah tak mengenal diriku sendiri.
Rasanya kau teramat berharga untuk seorang pengecut sepertiku.
Dari
awal kau selalu bilang,”jangan pernah terlalu mengharapkan sesuatu yang belum
pasti untuk kita. Tugas kita hanyalah melakukan yang terbaik dan berdoa untuk
yang terbaik.”
Tanpa
disadari kau dan aku telah membangun harapan-harapan yang terlalu tinggi untuk
kita raih. Sebuah kesalahan telah kita ambil dalam perjalan hidup ini. terlalu
terhanyut dalam sunyi, lalu kita sama-sama satu hati sebelum Tuhan benar-benar
mengizinkan.
Kalender
telah berganti dua kali saat terakhir kau bilang bahwa aku adalah pengecut. Itu
berarti, telah dua tahun lamanya namamu tak lagi ku temukan di beranda jejaring
sosial itu. Ada rindu yang terkadang menggodaku. Ada sesal dan ada maaf yang
belum kutunaikan. Aku mencoba mencarimu kembali di sudut kota ini, di rumah
yang dulu kau pernah berikan alamatnya padaku. Tapi, tidak satupun warga disana
mengetahui kemana kau dan keluargamu berpindah tempat. Satu diantara mereka
memberitahuku bahwa kau merantau bersama keluargamu ke Kalimantan. Masih dalam
satu tanah air, hanya dibatasi laut dan selat. Haruskah aku mencarimu? Andai
Kalimatan itu hanya seluas kota Kuningan tempat kelahiranku. Tak usah berfikir
panjang lagi untuk langsung mencarimu. Bahkan nomor Hp mu tak satupun yang bisa
kuhubungi.
Tidak
ada kabar satupun tentangmu yang kudengar. Entah kau sudah menikah atau belum.
Entah masih membacakan puisi-puisiku di hadapan teman-temanmu atau tidak. Hanya
Tuhan yang tau. Bagaimanapun kondisimu saat ini.
Waktu
telah membawaku pada sebuah kisah yang terkadang harus kita simpan untuk kita
ambil hikmahnya, atau sebuah cerita yang sama sekali harus ditutup dan
dilupakan. Aku, sang penyair sunyi, Husein Abdullah, tak akan lagi membuat luka
di hati siapapun melalui syair dan puisi-puisiku. Biarlah kata-kata itu tersimpan
hanya untukku saat menikmati kesendirian di tengah malam, atau ketika sedang
menikmati kopi hangat di pagi hari.
***
“Kau
jadi tak berangkat mengaji sore ini?” Sapa sahabatku saat jam kerja menunjukan
waktu untuk istirahat.
“Insya
Allah, Nash.” Jawabku seraya merapikan kertas kerjaku yang berantakan.
“Bukankah
kehidupan ini terus mengalir? Arah mana yang kita tempuh dan jalan mana yang
akan kita telusuri, itu akan menentukan perubahan dan nilai yang ada pada hidup
kita didunia ataupun setelahnya, yaitu kehidupan akhirat.”
Ah,
lagi-lagi aku tak mampu untuk melupakan sebagian kata-katamu kala itu, Permata
Jingga.
Nashar.
Ia hadir membawa warna baru dalam hidupku. Bawaannya yang tenang, wajahnya yang
selalu dihiasi senyuman, membuat siapapun merasa nyaman berteman dengannya.
Apalagi dengan disiplin waktunya yang hebat. Belum pernah aku melihatnya datang
terlambat di tempat kerja. Di tambah lagi, setiap sepekan sekali dia selalu
mengajakku untuk menghadiri sebuah majelis ilmu.
“Kita
harus seimbangkan antara kebutuhan jasadiah dan ruhaniah kita. Jika setiap hari
tubuh kita membutuhkan asupan gizi untuk stamina, setidaknya sepekan sekali
kita memberikan asupan gizi pula untuk ruhani kita. Salah satunya dengan rutin
menghadiri majelis ilmu.” Tuturnya setelah beberapa menit menjalankan shalat
duhur.
Tuhan
memang tak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Kebahagiaan dan ketenangan mulai
kurasakan setelah beberapa kali menghadiri majelis ilmu itu. Sedikit demi
sedikit aku mulai memahami batasan-batasan dan aturan-aturan dalam agamaku,
islam.
Namun,
ada satu hal yang membuatku belum tenang jika belum menunaikannya. Saat ibuku
bertanya,”kapan kamu akan menikah, Nak? Ibu sudah tak sabar ingin menimang
cucu.”
“Iya
Bang, kita juga ingin sekali mempunyai ponakan.” Adik-adikku menimpalinya.
“Insya
Allah, segera.” Jawabku dengan singkatnya.
Ada
harapan yang mulai bersemi, saat waktu yang dinanti itu tiba. Tapi, kemana aku
harus meminang bidadari yang kelak akan menjadi tema di setiap syair-syairku.
Permata Jingga bukanlah jodoh yang harus kupaksakan. Kisahmu telah terkikis waktu,
termakan zaman. Meski sejarahmu masih tersisa di kedalaman sudut hati yang yang
penuh noda ini.
Hari
ini aku harus memberanikan diri mencari bagian rusukku yang hilang.
“Nash,
kau mau membantuku?” Pintaku pada Nashar yang masih sibuk dengan pekerjaannya
sebagai editor.
“Selama
dalam kemampuanku. Insya Allah aku akan bantu.” Jawabnya dengan tegas.
“Carikan
aku seseorang yang bisa melengkapi tulang rusukku.” Kataku tak lagi ragu.
“Hehe..
Kata-katamu itu ibarat pujangga saja.” Nashar terkekeh dan sekejap berhenti
seperti memikirkan sesuatu.
Aku
hanya tersenyum lalu duduk disamping meja kerjanya.
“Benar
nih kau siap untuk menikah?” Nashar ingin meyakinkan kembali.
“Kau
meragukan niatku, Nash?” Aku sedikit kurang sabar.
“Baiklah,
besok sore kau datang kerumahku. Bagaimana?”
“Ke
rumahmu? Wah, kau ini punya banyak tawanan rupanya.” Aku terkekeh seraya
menepuk pundaknya.
“Tawanan
yang menanti pahlawan sepertimu kali, bro.” Candanya kadang tak ingin terkalahkan.
Ada
lengkung pelangi sore itu. Sehabis gerimis menyapu bumi dari tadi siang. Aku
siapkan hati, tekad dan niatku untuk yang satu ini. Angin senja terus menerpa
wajahku. Motor yang aku kendarai begitu bersahabat kali ini, tidak ada acara
mogok dan jalanan pun begitu lancar, tidak macet seperti hari-hari biasanya.
Setiba
di depan rumah bercat biru dengan tanaman hias sekelilingnya. Aku memarkir
motorku dekat pohon mangga yang rindang, sebelah utara rumah itu. Lalu aku
melangkah menuju pintu rumah. Setelah kuketuk pintu itu dan mengucapkan salam.
Terdengar suara Nashar menjawab salamku.
***
Nuansa
hijau, bunga-bunga, dan aroma melati telah menghiasi ruangan dan kursi
pelaminan. Kata apa yang hendak aku pahat untuk menggambarkan keresahan ini. Perasaan
tak menentu saat kehidupan yang baru akan segera aku mulai. Bukan Permata
Jingga yang kelak duduk bersanding bersamaku di kursi itu. Tapi, ia adalah
Zahara, adik tingkat Nashar waktu di kampusnya dulu. Perkenalanku dengan Zahara
hanya berlangsung 1 bulan saja. Setelah itu aku mantapkan untuk melamar dan
langsung menentukan tanggal pernikahan.
“Husein,
aku lupa membawakan jas hitam untuk kau pakai besok. Kau nanti ikut kerumahku
sebentar untuk mengambilnya ya?” Nashar mengingatkanku.
“Siap
boss..” Jawabku singkat.
Hujan
tidak mau berhenti. Basah bergumul dengan jas hujanku. Aku menggigil. Setelah
dipersilahkan masuk. Segera aku duduk di kursi tamu.
Nashar
memanggil istrinya untuk mengambilkan dua cangkir teh hangat. Untukku dan untuk
Nashar. Mungkin baru kali ini adalah kesempatanku untuk bertemu dan mengenal
istri Nashar. Selama ini Nashar memang belum sempat mengenalkan istrinya
kepadaku.
Terlihat
seorang wanita membawa dua cangkir di tangannya, yang sosoknya sepertinya
pernah aku kenal. Balutan jilbabnya, dan… Sebelah kakinya yang pincang, persis
seperti gadis yang kulihat dulu di TK itu.
“Permata
Jingga!” Bisikku dalam hati.
Tergugu
dan termangu atas kenyataan ini. Mata kita beradu pandang, ada hentakkah yang
membuat lidah ini kelu untuk berbicara. Dia pun hanya membisu. Terlihat dirinya
yang begitu terkejut melihatku. Sunyi kembali menyelinap di ruang hatiku.
Namun
tak bertahan lama, suara Nashar menyadarkanku dengan apa yang sedang aku hadapi
saat itu.
“Ini
Istriku, namanya Permatasari. Kau baru bertemu dengannya kan?” Nashar
menjelaskan.
“Oh,
iya.” Dengan senyum yang dibuat-buat dan tak ada lagi kata yang dapat ku ucap.
Bergejolak berbagai rasa. Ada sesal, ada kecewa, ada sunyi yang tiba-tiba hadir
di ruang hatiku. Lalu, aku tertunduk malu, mencoba memfokuskan hatiku pada sang
Pemilik Hati.
“Kami
belum dikaruniai anak, Sein. Mohon doanya ya.” Nashar tersenyum dan menatap
penuh cinta istrinya yang berlalu menuju ruang belakang.
Tak
ada lagi nyanyian sunyi yang dulu sering kualunkan. Tanpa kata aku melukis
cinta, mengikis kerinduan hampa dan harapan kosong tentang Permata Jingga,
ataupun Permatasari sekalipun namanya.
***
Riuh,
ramai. Para undangan terus berdatangan untuk mengucapkan doa atas pernikahanku
dengan Zahara. Lalu, dua pasang insan itu, Nashar dan Permata menghampiriku.
Nashar memelukku, menepuk-nepuk pundakku dengan melafazkan doa barokah untuk
pernikahanku dengan Zahara.
“Husein,
kenapa kau tak pernah cerita bahwa kau telah mengenal istriku sebelumnya.”
Perkataan Nashar mengejutkanku.
“Oh,
iya. Aku takut salah orang. Jadi aku tak cerita padamu.” Kataku dengan gugup
dan terbata-bata.
“Permata
yang bilang padaku, dia mengenalmu di dunia maya dulu. Aku maklumi kamu, Sein.
Mungkin sudah terlalu lama kalian tidak bertemu.” Nashar kembali menjelaskan.
Permata hanya melontar senyum. Senyum penuh
ketulusan. Wajah yang menampakkan kebahagiaan. Aku yakinkan tidak semua kisah
antara aku dan Permata yang Nashar ketahui.
“Baraakaallah,
Jika Rumah tangga dibangun atas nama Allah. Yakinlah sepahit apapun masa lalu
dan masa nanti, ia kan menjadi hikmah.” Suaranya yang lembut dan menyentuh
membuat bidadari disampingku meneteskan butir bening di sudut matanya.
Dipeluknya dengan hangat istriku itu.
Kini
aku tau. Ketulusan itu adalah saat tak ada lagi beban perasaan yang menghimpit,
dan bahagia saat melihat orang yang kita cintai bahagia. Lalu, menuangkan
ketulusan itu pada taman indah yang akan menjadi tempat berpetualang para
pewarisku nanti.
Zahara,
kaulah permata hatiku kini dan nanti.
0 komentar:
Posting Komentar