Oleh : Maya N.
Kesan Pertama
Menulis menjadi teman
sekaligus menjadi tempat “sampah” segala unek-unek dalam hati dan pikiran.
Pertamanya, wuih… gak hobi banget dengan yang namanya menulis, selain memang
karena penyakit kronis yang disebut males, tulisan tanganku pun gak ada
model-modelnya gitu, jadi empet aja kalo liat tulisan sendiri.
Karena hobi membacalah
jiwaku tergugah untuk menelurkan bait-bait puisi atau sekedar corat-coret gak
puguh. Dan benar-bernar mempunyai komitmen untuk terus menulis, walaupun
sepertinya penyakitku ini sulit untuk sembuh (males tea…).
Menurut catatan M.
Fauzil Adhim bahwa menulis akan terasa lebih menggugah dan membangkitkan
semangat apabila kita merasakan benar mengapa kita perlu menulis.
Jadi, menemukan alasan
mengapa aku perlu menulis lebih terdengar menarik dibandingkan pusing-pusing
dan capek sendiri memikirkan bagaimana untuk membuat tulisan yang menarik.
Untuk apa kita
menulis?
Pernah gak sih kita berfikir
untuk apa kita menulis. Apakah sekedar hobi? cari sensasi? cari nafkah, or cari
kepuasan? (Hoalah, ko pilihannya gak ada yang bagus-bagusnya gitu)
Yang pasti, semua
penulis mempunyai persepsi dan tujuan sendiri untuk apa dia menulis. Dan itu
adalah hak individu yang tidak perlu digugat apalagi diperdebatkan. Namun, bagi
tulisan yang menjadi konsumsi public, haruslah mempunyai tujuan yang jelas.
Mencintai apa yang
kita tulis akan menumbuhkan kekuatan dan inspirasi. Semua akan menjadi penting
jika mengandung keutamaan. Begitupun dengan menulis, menulis hanyalah sebagai
alat untuk mendatangkan kemanfaaatan, kebaikan, dan kemaslahatan.
Baca yuk!
Yakin deh, dengan
banyak membaca pengetahuan kita bakalan melesat
tinggi di udara. :D, dengan menbaca juga inspirasi akan datang dengan sendirinya,
jadi gak susah-susah cari inspirasi. Buku yang sering kita baca sedikit
banyaknya berkontribusi dalam pembentukan karakter tulisan kita. Buktinya,
gara-gara banyak baca cerita dudulz, tukisankupun sedikit terpengaruh (rada
dudulz gitu.. *lha orangnya?). walaupun tulisan kita akhirnya akan membentuk
karakter kita sendiri.
Ladang pahala dan
dakwah
Wah, inilah salah satu
alasan untuk apa aku menulis. Ketika tulisan kita bisa diambil hikmahnya (yang
baik tentunya) apalagi bisa membuat yang membacanya lebih bersemangat dan
mempunyai kekuatan dalam perjalanan hidupnya, secara otomatis ini menjadi
kebaikan tesendiri bagi yang menulis atau yang membacanya.
Bukankah Hasan Albana,
Al-Ghazali, Yusuf A-Qordowi juga bisa membuat tulisan-tulisan yang mampu membangkitkan
semangat jiwa dan meningkatkan pengetahuan
para pembacanya? Great! Terlahir dari tulisan-tulisan di dalam jeruji
besi, Hasan Al Bana mampu membentuk jiwa-jiwa sang pejuang.
Bahkan, melalui
tulisan kita bisa lebih leluasa mengajak seseorang dalam hal kebaikan. Karena
kebanyakan orang akan lebih menerima kebaikan melalui hikmah dari tulisan
yang dibaca.
Dakwah dengan pena,
suatu hal yang terlihat kecil namun pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan
dan kebangkitan generasi islam. (ehm, emak-emak lagi ceramah)
Nah sekarang, sebagai
umat islam yang wajib berdakwah, apa kontribusi tulisanmu untuk dakwah?
Jawabannya simpan masing-masing saja.
Bukan lebay, namun
begitulah adanya
Dalam berapresiasi,
baik puisi, prosa, atau yang lainnya, bunga-bunga bahasa sedikit banyaknya
sangat diperlukan , sepertti apa yang sudah dipelajari di sekolah tentang majas
dan jenis-jenisnya.
Untuk kebebasan
berkreasi, lebay adalah pilihan untuk sebuah ekspresi yang akan ditunjukkan.
Tapi menurut hemat saya (BBM mahal bo!) jika tulisan kita terlihat lebay itu
semata-mata adalah tehnis penggunaan bahasa dalam aplikatifnya sebuah majas
hiperbol, litotes, dan yang lainnya (silahkan tanya guru b. Indonesia-nya
masing-masing ya!), sebenarnya tidak ada kata lebay dalam menulis, karena
begitulah adanya bahasa yang diperlukan, dan itu sudah tentu disesuaikan dengan
bentuk tulisan yang kita buat. Agar siapapun yang membaca tulisan kita bisa lebih
menikmatinya seperti kopi susu di pagi hari.
Antara bakat dan kerja
keras
Kata mba I-Je (Izzatul
Jannah), sebenarnya orang yang sudah mempunyai kemampuan membaca dan menulis,
bepotensi untuk jadi penulis, hanya saja bagi mereka yang berbakat, potensi itu
akan lenih cepat teraktualisasi dan hasilnya lebih bagus, tetapi ada juga yang
bersusah payah berlatih menulis dan kemudian hasil karyanya meledak.
Kesimpulannya, sebelum
kita memutuskan bahwa kita tidak berbakat menulis, akan lebih baik jika kita
terus menulis, menulis dan menulis. Karena sesungguhnya takdir adalah apa yang
terus-menerus kita upayakan.
Wow, sebagai penulis
kacangan aku sendiri mengalami jatuh bangun dalam upaya menulis dan menulis, meskipun tulisan kita
tidaklah sehebat para penulis hebat, setidaknya kita punya usaha dan kekuatan
untuk konsisten dan serius dalam menulis.
Penulis kacangan
Tulisan sekadar
tulisan, itulah mungkin tulisanku. Teori memang mudah, namun realisasi darinya
yang terasa begitu sulit. Tapi setidaknya, secuil ilmu bisa menjadi modal kita
untuk bisa belajar lebih baik lagi. Dan kini, aku sedang menikmati indahnya
menulis.
2 jam sudah aku
menulis catatan ini, mungkin bagi mereka (penulis senior), 2 jam adalah waktu
yang terlalu lama untuk sekedar menghasilkan
catatan seperti ini. Namun bagiku, ini sebuah prestasi yang luar biasa
atas kerja keras banting tulang, sampai meguras toples kue. Yaiya lah, wong
nulisnya sambil nonton tv, sesekali sms-an, pantas saja kalau 2 jam hanya
menelurkan tulisan seucrit ini. Hehe…
Bahkan ketika menulis
puisi-puisiku, dari waktu ke waktu aku merasakan perubahan dari puisi-puisiku.
Meskipun sampai sekarang puisi-puisiku banyak mengundang kritikan-kritikan
tajam setajam jarum pentul, menusuk. Namun itu semua tidak terlepas dari proses
kita dalam belajar menulis.
Demikian cereamah
terbuka saya. Akhirnya, aku bisa menyelesaikan tulisan ini. Jika ada kata-kata
yang salah, semata ini adalah kesalahan penulis kacangan ini. Namun jika ada
hak yang dapat diambil, sikahkan ambik saja, gratis ko..
Salam Pena!! ^_^
0 komentar:
Posting Komentar